
perumahan yang layak, tanah yang aman, layanan air serta sanitasi dasar.
Angka ini setara dengan sekitar 40 persen dari total populasi dunia.
Estimasi UN-Habitat juga menunjukkan dari 2,8 miliar itu, lebih dari 1,12 miliar di antaranya tinggal di permukiman kumuh atau permukiman informal.
Selain itu, sekitar 300 juta orang merupakan “tunawisma absolut”, yang berarti mereka sama sekali tidak memiliki tempat berlindung yang stabil.
Krisis perumahan ini terjadi di wilayah yang mengalami urbanisasi cepat, seperti Afrika dan Asia-Pasifik.
Seiring pertumbuhan kota, pembangunan perumahan dan infrastruktur gagal mengimbangi laju pertumbuhan penduduk kota.
Akibatnya, terjadi peningkatan drastis kondisi hidup informal dan tidak memadai, seperti permukiman kumuh atau permukiman liar yang tidak memiliki akses ke fasilitas dasar.
Sebagai gambaran, seperti dikutip dari laman resmi United Nations, Sabtu (31/5/2025) di Afrika, sebanyak 62 persen tempat tinggal perkotaan bersifat informal alias permukiman yang tidak terencana, tidak resmi, atau tidak memiliki izin bangunan yang memadai.
Sementara di Asia-Pasifik terdapat lebih dari 500 juta orang yang tidak memiliki akses ke layanan air dasar. Sedangkan lebih dari satu miliar orang hidup tanpa sanitasi yang memadai.
Perubahan iklim memperburuk kondisi dan risiko yang dihadapi oleh orang-orang yang tidak memiliki perumahan formal, berkualitas, dan akses terhadap layanan dasar.
Perubahan iklim membuat masyarakat ini menghadapi risiko yang makin besar akibat panas ekstrem, peristiwa cuaca buruk dan kelangkaan air.
Menemukan solusi berkelanjutan untuk krisis perumahan ini pun merupakan hal yang penting untuk memajukan pembangunan berkelanjutan global.
Perumahan yang berkualitas bukan hanya hak asasi manusia yang mendasar. Pasalnya, perumahan yang berkualitas juga mendorong penciptaan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan nasional, menyelamatkan nyawa, dan meletakkan dasar bagi kesehatan, pendidikan, dan mobilitas ekonomi yang lebih baik.
Menghadapi krisis tersebut, UN-Habitat pun fokus untuk segera melakukan pengesahan Rencana Strategis UN-Habitat yang akan berlaku 2026-2029.
Rencana tersebut akan memprioritaskan perumahan yang layak, akses ke layanan dasar serta transformasi permukiman informal.
UN-Habitat menguraikan pula tiga hal yang ingin dicapai melalui rencana tersebut yaitu kemakmuran inklusif, kesiapsiagaan, pemulihan, dan rekonstruksi serta keberlanjutan iklim.
Ketiga pilar tersebut juga dirancang untuk mempercepat kemajuan menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Rencana strategis UN-Habitat juga menekankan pentingnya memperkuat kerja sama dengan lembaga-lembaga PBB lainnya.
Ini menunjukkan bahwa UN-Habitat tidak bekerja sendiri, melainkan berupaya untuk berkolaborasi dan menyatukan kekuatan dengan badan-badan PBB lain yang memiliki visi dan misi serupa, sehingga upaya mereka bisa lebih efektif dan dampaknya lebih besar.