KUBET – Microsoft Kaji Dampak Lingkungan Pendinginan Pusat Data

Ilustrasi AI

Lihat Foto

pusat data saat ini makin meningkat seiring dengan berkembangnya teknologi kecerdasan buatan (AI).

Pusat-pusat data besar ini menggunakan sejumlah besar air selama pembangunan dan setelah beroperasi untuk mendinginkan komponen-komponen listrik.

Lalu, sistem pendingin biasanya akan mengandalkan air bersih dari jaringan utama untuk menghindari penyumbatan akibat kotoran.

Namun kebutuhan akan air itu menimbulkan kekhawatiran, terutama di negara-negara yang mengalami kekurangan air.

Mengutip Edie, Selasa (6/5/2025) secara global, infrastruktur yang terkait dengan kecerdasan buatan diperkirakan akan mengonsumsi air yang sangat besar.

Microsoft sendiri melaporkan peningkatan sebesar 34 persen dalam penggunaan air global perusahaannya selama pengembangan alat-alat AI awal.

Untuk mengetahui seberapa berpengaruh sistem pendinganan pada pusat data, penliti melakukan penilaian siklus hidup yang lengkap terhadap berbagai metode pendinginan, dengan mempertimbangkan penggunaan energi, konsumsi air, dan emisi gas rumah kaca.

Semua bagian dari siklus hidup dinilai, mulai dari pembuatan komponen, transportasi, hingga pembuangan akhir masa pakai.

Dengan harapan nantinya dapat mengidentifikasi cara-cara yang paling berkelanjutan dan efisien untuk diterapkan di masa depan dalam pengembangan pusat data.

Microsoft juga telah merilis metodologinya untuk penilaian siklus hidup teknologi pendinginan dalam sebuah repositori terbuka, yang memungkinkan penyedia layanan awan lainnya untuk melakukan analisis serupa.

Analisis yang dilakukan selama dua tahun ini meneliti empat jenis metode pendinginan yakni pendinginan udara tradisional, pelat dingin, perendaman satu fase, dan perendaman dua fase.

Peneliti menemukan bahwa pelat dingin dan kedua metode perendaman tersebut memangkas emisi hingga 15–21 persen, permintaan energi hingga 20 persen, dan penggunaan air antara 31 persen dan 52 persen selama siklus hidup penuh pusat data dibandingkan dengan pendinginan udara.

Penelitian tersebut juga menemukan bahwa beralih ke 100 persen energi terbarukan dapat mengurangi emisi Gas Rumah Kaca hingga 85–90 persen, terlepas dari teknologi pendinginan yang digunakan.

Studi juga menyoroti, meski teknologi pendinginan cair dianggap lebih efisien daripada teknologi lain, bukan berarti tanpa tantangan.

Perendaman dua fase yang metode paling efisien ternyata menggunakan PFAS, bahan kimia yang menghadapi pengawasan regulasi di AS dan UE.

KUBET – Cegah Wabah karena Iklim, Indonesia Perkuat Sistem Kesehatan dengan AI

forum Inovasi ClimateSmart Indonesia, yang juga menandai peluncuran platform berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk memprediksi dan merespons penyakit yang terkait dengan perubahan iklim, pada Senin (05/05/2025).

Lihat Foto

Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Ten Suyanti, menegaskan bahwa ketahanan iklim sangat bergantung pada ketahanan sistem kesehatan nasional.

Pernyataan ini disampaikan dalam forum Inovasi ClimateSmart Indonesia yang digelar pada Senin (05/05/2025), sekaligus menandai peluncuran platform kecerdasan buatan (AI) yang dirancang untuk memprediksi dan merespons penyakit akibat perubahan iklim.

Suyanti mengutip data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebutkan bahwa sekitar 13 juta kematian setiap tahun disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti cuaca ekstrem, pencemaran air, dan polusi udara.

“Perubahan cuaca yang ekstrem memperburuk penyebaran penyakit. Cuaca panas, pencemaran air, dan polusi udara memberikan dampak langsung terhadap kesehatan masyarakat,” ujarnya.

Ia menyebut, penyakit seperti diare dan malaria semakin menyebar akibat krisis iklim. Karena itu, sistem kesehatan perlu menjadi garda terdepan dalam adaptasi perubahan iklim.

Mengacu pada laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Suyanti mengingatkan bahwa kelompok rentan akan merasakan dampak paling berat dari krisis ini.

Oleh karena itu, diperlukan penilaian risiko dini dan tindakan pencegahan cepat untuk mencegah wabah makin meluas.

Lebih lanjut, Suyanti menyampaikan bahwa Kemenkes telah memiliki data penyakit seperti malaria, termasuk informasi detail seperti jenis nyamuk dan resistensinya terhadap obat.

“Kami sudah memiliki data lengkap, tinggal mengolah dan mengintegrasikannya dengan faktor lingkungan untuk intervensi yang lebih cepat dan efektif,” jelasnya.

Menurutnya, sistem pengelolaan data di Kemenkes sudah berjalan baik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Sebagian data ini bahkan telah dimanfaatkan untuk menilai risiko iklim dan memetakan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.

Namun demikian, Suyanti juga mengakui bahwa sistem yang ada masih memiliki keterbatasan. Di sinilah peran penting teknologi berbasis AI seperti platform ClimateSmart Indonesia untuk memperkuat sistem peringatan dini.

“Dengan teknologi yang menyatukan data dari berbagai sektor, kami berharap proses analisis dan deteksi dini penyakit yang sensitif terhadap iklim bisa lebih cepat, sehingga intervensi yang tepat dapat segera dilakukan,” tambahnya.

Sementara itu, dalam forum yang sama, Ketua Umum KORIKA, Hammam Riza, menegaskan bahwa sektor kesehatan kini menjadi salah satu prioritas dalam Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial (AI) Indonesia.

Ia menjelaskan bahwa platform ClimateSmart juga dilengkapi dengan teknologi digital twin yang memungkinkan integrasi data iklim dan kesehatan secara real-time.

“Platform ini dirancang untuk memperkuat kapasitas lokal dalam memodelkan, memprediksi, dan memberikan rekomendasi terkait penanganan penyakit yang sensitif terhadap perubahan iklim,” ujar Riza.

Sebagai informasi, ClimateSmart Indonesia merupakan platform AI yang dikembangkan oleh KORIKA bekerja sama dengan Universitas Kecerdasan Buatan Mohamed bin Zayed (MBZUAI) dan Institute for Health Modeling and Climate Solutions (IMACS), serta didukung oleh Kemenkes, BMKG, KLHK, dan Kementerian Kominfo.

Peluncuran platform ini menjadi tonggak penting dalam menjembatani sektor kesehatan dan iklim di Indonesia, sebagai respons atas tantangan serius dari krisis iklim global.

KUBET – Jadi Pusat Riset, Suaka Badak di Aceh Timur Teliti Cara Kembangbiak

Indra, anak badak sumatera yang lahir di SRS TNWK, Minggu (16/2/2025).

Lihat Foto

Kepala BKSDA Aceh Ujang Wisnu Barata di Banda Aceh, Senin, mengatakan selain sebagai pusat penelitian, suaka badak sumatra tersebut juga dijadikan pusat pengembangbiakan satwa liar yang terancam punah tersebut.

“Suaka badak sumatra atau sumatran rhino sanctuary di Kabupaten Aceh Timur akan dijadikan pusat penelitian dan pengembangbiakan badak sumatra yang kini terancam punah di alam liar,” katanya pada Senin (5/5/2025).

Menurut dia, saat ini progres pembangunan sumatran rhino sanctuary (SRS) di Kabupaten Aceh Timur sudah mencapai 90 persen. Kini, tinggal pembangunan jalan menuju ke SRS tersebut. Pembangunan jalan tersebut didukung pemerintah daerah setempat.

Ia menjelaskan, sarana dan prasarana SRS itu meliputi bangunan untuk penelitian, klinik kesehatan, dan lainnya. Termasuk lokasi pengembangbiakan buatannya, kata Ujang Wisnu Barat.

“Luas lahan SRS mencapai 10 hektare. Jika semua infrastrukturnya selesai, maka SRS tersebut segera dioperasikan. Terkait pembangunan jalan, sudah kami sampaikan kepada Bupati Aceh Timur,” kata Ujang Wisnu Barata.

Kepala BKSDA Aceh itu menyebutkan populasi badak sumatra di Provinsi Aceh berkisar 30 hingga 50 ekor. Ciri-ciri badak sumatra memiliki dua cula, satu berukuran kecil dan satu lagi besar yang berada di dekat mulut.

“Keberadaan SRS tersebut diharapkan nantinya menjadi tempat penyelamatan badak sumatra. Apalagi badak sumatra yang merupakan satwa kunci kini kondisinya terancam punah karena habitatnya semakin sempit,” kata Ujang.

KUBET – KLH Desak Perusahaan Kelola Lingkungan lewat PROPER

Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan KLH, Rasio Ridho Sani, menjeaslakn terkait PROPER, di Jakarta Selatan, Selasa (6/5/2025).

Lihat Foto

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) memeringkatkan perusahaan atas upaya mengelola lingkungan dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER).

Melalui program tersebut, perusahaan didesak bertanggung jawab atas aktivitas operasional yang berdampak pada lingkungan terutama di daerah aliran sungai (DAS).

Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan KLH, Rasio Ridho Sani, menjelaskan terdapat lima kategori peringkat kinerja perusahaan yakni hitam, merah, biru, hijau, dan emas.

“Peringkat hitam artinya perusahaan tidak melakukan upaya yang sangat serius dalam konteks pengelolaan lingkungan hidupnya, dan berdampak serius terhadap lingkungan. Perusahaan berpingkat merah, perusahaan yang belum optimal melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidupnya,” ungkap Rasio saat ditemui di Jakarta Selatan, Selasa (6/5/2025).

Perusahaan berperingkat biru dikategorikan sudah melakukan upaya pengelolaan lingkungan hdup dan menaati peraturan yang ada. Sementara kategori hijau artinya perusahaan telah melakukan efisiensi air, energi, ataupun langkah lan seperti pemanfaatan limbah dari bisnisnya.

“Peringkat emas yaitu perusahaan sudah melakukan inovasi-inovasi dalam konteks lingkungan hidup, dan inovasi sosial di mana mereka melakukan kegiatan sosial di lingkungan sekitar mereka sehingga memberikan dampak besar pada masyarakat,” jelas Rasio.

Dia menyebut, laporan pengelolaan lingkungan PROPER selayaknya laporan keuangan perusahaan. Menurut Rasio, perusahaan dengan peringkat emas bakal lebih mudah mendapatkan pendanaan dari investor.

Selain itu, mitra bisnis maupun masyarakat dapat menilai reputasi perusahaan terhadap lingkungan hidup.

“Risiko perusahaan-perusahaan yang kinerjanya tidak baik adalah risiko keuangan. Selama ini kami melihat banyak sekali perusahaan yang tidak mendapat dukungan pendanaan, apabila mereka peringkat kinerjanya belum patuhbbaik hitam maupun merah,” tutur dia.

Pasalnya, lanjut Rasio, lembaga keuangan kerap mengecek laporan lingkungan sebelum memberikan pendanaan. Sebaliknya, perusahaan dengan pringlat emas berpeluang besar lebih mudah mengakses pendanaan.

“Risikonya (peringkat hitam dan merah) akan menyebabkan mereka tidak mendapatkan percayaan. Baik itu berkaitan dengan konsumen, produk, ataupun tidak mendapatkan percayaan dari mitra mereka termasuk pihak yang akan mendanai,” ungkap Rasio.

Di tahun ini, KLH menggelar PROPER khususnya pada 517 usaha dan/atau kegiatan di sekitar DAS DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Bali selama Juli 2024–Juni 2025.

Dalam PROPER yang digelar Februari 2025 lalu, KLH mengumumkan 16 perusahaan berperingkat hitam, 1.313 perusahaan berperingkat merah, 2.649 perusahaan berperingkat biru, 227 perusahaan berperingkat hijau, dan 85 perusahaan berperingkat emas.

 

KUBET – KLH: Perusahaan Peringkat Hitam dan Merah pada PROPER Bisa Dicabut Izin Usahanya

Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan KLH, Rasio Ridho Sani, menjelaskan soal PROPER.

Lihat Foto

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan bahwa perusahaan yang masuk kategori merah dan hitam pada Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup atau PROPER terancam dicabut izin usahanya.

Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan KLH, Rasio Ridho Sani, mengungkapkan hal itu dilakukan sebab perusahaan terbukti mencemari dan tidak mengelola lingkungan.

Pihaknya bakal melaporkan ke Deputi Penegakan Hukum KLH untuk mendalami terkait sanksi terhadap perusahaan.

“Mereka akan bisa memberikan sanksi kepada perusahaan tersebut dilihat dari seberapa parahnya, sanksinya bagaimana. Apakah perlu sanksi paksaan pemerintah, denda atau pada level pencabutan izin,” ujar Rasio saat ditemui di Jakarta Selatan, Selasa (6/5/2025).

Bila ditemukan pencemaran yang berat, maka KLH akan menggugat perusahaan dengan pasal pidana ataupun perdata.

“Jadi ini kenapa PROPER menjadi instrumen yang sangat penting,” imbuh dia.

Rasio menjelaskan, PROPER mendorong perusahaan bertanggung jawab atas aktivitas operasional yang berdampak pada lingkungan terutama di daerah aliran sungai (DAS). Terdapat lima kategori peringkat kinerja perusahaan yakni hitam, merah, biru, hijau, dan emas.

“Peringkat hitam artinya perusahaan tidak melakukan upaya yang sangat serius dalam konteks pengelolaan lingkungan hidupnya, dan berdampak serius terhadap lingkungan. Perusahaan berpingkat merah, perusahaan yang belum optimal melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidupnya,” ungkap dia.

Perusahaan berperingkat biru dikategorikan sudah melakukan upaya pengelolaan lingkungan hdup dan menaati peraturan yang ada. Sementara kategori hijau artinya perusahaan telah melakukan efisiensi air, energi, ataupun langkah lan seperti pemanfaatan limbah dari bisnisnya.

“Peringkat emas yaitu perusahaan sudah melakukan inovasi-inovasi dalam konteks lingkungan hidup, dan inovasi sosial di mana mereka melakukan kegiatan sosial di lingkungan sekitar mereka sehingga memberikan dampak besar pada masyarakat,” tutur Rasio.

Dia menyebut, laporan pengelolaan lingkungan PROPER selayaknya laporan keuangan perusahaan. Menurut Rasio, perusahaan dengan peringkat emas bakal lebih mudah mendapatkan pendanaan dari investor. Selain itu, mitra bisnis maupun masyarakat dapat menilai reputasi perusahaan terhadap lingkungan hidup.

“Risiko perusahaan-perusahaan yang kinerjanya tidak baik adalah risiko keuangan. Selama ini kami melihat banyak sekali perusahaan yang tidak mendapat dukungan pendanaan, apabila mereka peringkat kinerjanya belum patuhbbaik hitam maupun merah,” papar dia.

Pasalnya, lembaga keuangan kerap mengecek laporan lingkungan sebelum memberikan pendanaan. Sebaliknya, perusahaan dengan peringkat emas berpeluang besar lebih mudah mengakses pendanaan.

Di tahun ini, KLH menggelar PROPER khususnya pada 517 usaha dan/atau kegiatan di sekitar DAS DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Bali selama Juli 2024–Juni 2025.

Dalam PROPER yang digelar Februari 2025 lalu, KLH mengumumkan 16 perusahaan berperingkat hitam, 1.313 perusahaan berperingkat merah, 2.649 perusahaan berperingkat biru, 227 perusahaan berperingkat hijau, dan 85 perusahaan berperingkat emas.

 

KUBET – Waspada Meningkatnya Kebakaran Hutan dan Lahan

Asap mengepul dari lokasi kebakaran hutan Gunung Lawu terlihat dari Karanggubito, Kendal, Ngawi, Jawa Timur, Senin (2/10/2023). Kebakaran kawasan hutan Gunung Lawu yang terjadi sejak Jumat (29/9) hingga Senin (2/10) belum bisa dipadamkan dan semakin meluas hingga membakar lebih dari 150 hektare areal hutan yang terbakar. ANTARA FOTO/Siswowidodo/tom.

Lihat Foto

Di antaranya terjadi kekeringan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), bencana hidrometeorologi, menurunnya produksi pangan, merebaknya wabah penyakit dan sebagainya.

Pemberitaan harian Kompas, Jumat (2/5/2025), berjudul “Perubahan Iklim Meningkatkan Kebakaran Hutan” menegaskan dan membenarkan sinyalemen itu.

Perubahan iklim menyebabkan suhu global meningkat dan memicu kekeringan ekstrem sehingga membuat api lebih mudah menjalar.

Para peneliti dari Helmholtz Centre for Environmental Research, Jerman dan peneliti dari Australia menemukan musim cuaca kebakaran-periode cuaca yang sangat mendukung kebakaran seperti saat musim kemarau dengan kelembaban rendah – di Australia Timur dan Amerika Utara semakin tumpang tindih.

Musim kebakaran di kedua wilayah itu bergeser akibat perubahan iklim. Laporan hasil studi ini telah dipublikasikan di jurnal Earth’s Future pada April 2025.

Para peneliti menggunakan Canadian Fire Weather Index (FWI) untuk mengukur risiko kebakaran. Indeks ini memperhitungkan curah hujan, suhu, kelembaban relatif, dan kecepatan angin.

Para peneliti mengindentifikasi hari-hari dengan risiko kebakaran hutan yang tinggi. Mereka menemukan musim kebakaran di Australia Timur dan Amerika utara bagian barat semakin tumpang tindih sejak 1979.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Langsung maupun tidak langsung karena pemanasan global, maka perubahan iklim juga akan meningkatkan risiko kebakaran di Indonesia, khususnya pada daerah lahan gambut yang terbuka (termasuk perkebunan sawit yang ditanam di lahan gambut) yang memang sangat rentan kebakaran hutan.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyampaikan bahwa awal musim kemarau 2025 mulai terjadi sejak April dan akan berlangsung secara bertahap di berbagai wilayah Indonesia.

Kendati demikian, musim kemarau 2025 diprediksi akan berlangsung lebih singkat dari biasanya di sebagian besar wilayah Indonesia.

Hal ini berdasarkan pemantauan dan analisis dinamika iklim global dan regional yang dilakukan BMKG hingga pertengahan April 2025.

Dwikorita juga mengungkapkan bahwa puncak musim kemarau akan terjadi pada Juni hingga Agustus 2025, dengan wilayah-wilayah seperti Jawa bagian tengah hingga timur, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku diperkirakan mengalami puncak kekeringan pada Agustus.

Untuk sektor kebencanaan, peningkatan kesiapsiagaan terhadap potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi hal yang sangat krusial, terutama di wilayah yang diprediksi mengalami musim kemarau dengan sifat normal hingga lebih kering dari biasanya.

KUBET – Dua Orang Jadi Tersangka Kasus Serobot Lahan Hutan Pendidikan Unmul

Direktur Penindakan Pidana Kehutanan, Rudianto Saragih Napitu, menjelaskan kasus penyerobotan lahan hutan pendidikan Unmul, Selasa (6/5/2025).

Lihat Foto

Unmul, Kalimantan Timur. Diketahui, lahan ini digunakan untuk penambangan ilegal.

“(Kasus) Unmul sudah naik ke penyidikan. Yang jelas dia (perusahaan) menambang, membuka persiapan (penambangan) sekitar 5 hektare,” ujar Rudianto saat ditemui di kantor Kemenhut, Jakarta Pusat, Selasa (6/5/2025).

Kendati demikian, dia tak memerinci terkait identitas kedua tersangka dalam kasus tersebut. Rudianto menjelaskan, perusahaan melakukan penambangan ilegal di luar area konsesinya.

“Dia (perusahaan) sebenarnya ada izinnya tetapi lewat sedikit. Masuk ke areal yang enggak (berizin). Jadi ilegal juga,” tutur dia.

Pihaknya mencatat, kerusakan ekosistem akibat penambangan ilegal itu mencapai lebih dari 5 hektare. Sejauh ini, telah diterbitkan surat perintah penyidikan Nomor: 01/PPNS/GAKKUMHUT.10/GKM.5.3/B/4/2025 tertanggal 28 April 2025.

Penyidik juga telah melakukan permintaan keterangan saksi-saksi termasuk meminta keterangan ahli. Sementara itu, Kapolda Kalimantan Timur, Irjen Pol Endar Priantoro, memastikan penyelidikan kasus tambang ilegal di hutan pendidikan Unmul masih terus berlangsung.

“Unmul kami masih proses penyelidikan, kerja sama dengan penyidik LHK. Jadi kami sama-sama in line, mereka jalan di LHK, kita jalan di Undang-Undang Pertambangannya,” kata Endar, Senin (5/5/2025).

Ia menegaskan, proses hukum akan tetap dijalankan sesuai dengan fakta yang ditemukan di lapangan.

Diberitakan sebelumnya, lima alat berat milik perusahaan tambang disinyalir telah memasuki kawasan hutan pendidikan Unmul sejak 4 April 2025. Dosen Fakultas Kehutanan Unmul, Rustam, menyampaikan bahwa penambangan ini bukanlah kejadian pertama.

“Sejak awal tahun lalu, pelaku yang sama sudah membuka lahan di IUP-nya. Tapi memang IUP itu berbatasan langsung dengan kawasan hutan kami,” ucap Rustam.

Rustam menyampaikan, akibat aktivitas penambangan sebelumnya hutan Unmul sempat mengalami longsor karena batas hutan hanya berupa pagar gantung.

KUBET – Surplus Gas yang Semu

Ilustrasi pipa gas.

Lihat Foto

Namun, data lain menunjukkan kemungkinan defisit di beberapa wilayah pada periode tersebut. Hal ini menciptakan ketidakjelasan antara surplus dan defisit gas.

Menurut Menteri ESDM, peningkatan produksi gas nasional diharapkan akan dimulai pada tahun 2026–2027, terutama dari proyek-proyek yang dikelola oleh perusahaan seperti Eni dan Mubadala Energy. Pemerintah menegaskan bahwa impor gas hanya dilakukan dalam kondisi darurat.

Sebaliknya, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) memproyeksikan defisit gas di beberapa wilayah seperti Sumatera dan Jawa Barat, mencapai puncaknya pada 2035 dengan defisit sekitar 513 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) .

Kondisi Neraca Gas Indonesia


Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. 2025. Laporan Kinerja Tahun 2024
Neraca Gas Indonesia 2024-2033

Neraca Gas Indonesia periode 2024–2033

Proyeksi Neraca Gas Indonesia (NGI) 2024–2033 memperkirakan kebutuhan gas akan stabil hingga tahun 2033.

Namun, penurunan produksi gas dari sumur-sumur tua menjadi tantangan utama, sehingga pasokan saat ini hanya cukup memenuhi kebutuhan kontrak yang ada (contracted demand), tetapi tidak mencukupi permintaan yang lebih luas (committed & potential demand).

Potensi surplus gas diprediksi jika proyek di lapangan gas seperti Blok Masela, Indonesian Deepwater Development (IDD), dan Andaman sukses beroperasi.

Surplus ini diperkirakan mencapai 1.715 MMSCFD dalam sepuluh tahun ke depan dan memungkinkan ekspor LNG.

Namun, menurut lembaga riset Wood Mackenzie, tanpa percepatan pengembangan proyek-proyek baru dan peningkatan investasi, Indonesia akan menghadapi defisit gas pada 2033.

“Sehingga, meskipun pemerintah optimis terhadap potensi surplus gas, namun tanpa langkah-langkah strategis yang tepat, Indonesia berisiko mengalami defisit gas dalam satu dekade ke depan.”

Tantangan Utama Sektor Gas

Ada tiga tantangan utama dalam pengelolaan gas nasional: Penurunan produksi sumur-sumur gas, Investasi terbatas, dan Infrastruktur yang kurang.

Mayoritas sekitar 90 persen produksi gas nasional berasal dari ladang-ladang gas tua, yang secara alami telah mengalami penurunan produksi dari waktu ke waktu, karena cadangan gasnya semakin berkurang.

Regulasi yang kompleks serta kurangnya kebijakan insentif menyebabkan investor menjadi tidak atau kurang tertarik untuk mengeksplorasi ladang-ladang gas baru. Hal ini membuat produksi gas baru sulit untuk ditingkatkan.

KUBET – Dua Sisi Gasifikasi Batu Bara

Ilustrasi batu bara.

Lihat Foto

gasifikasi batu bara, yaitu mengubah batu bara (padat) menjadi produk gas yang dapat digunakan untuk bahan bakar serta bahan baku industri.

Ketua Satuan Tugas Hilirisasi dan Ketahanan Energi sekaligus Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan, gasifikasi batu bara merupakan bentuk hilirisasi sumber daya alam. BPI Danantara disebut sebagai salah satu investor.

Gasifikasi batu bara, hilirisasi serta Danantara adalah segitiga yang menopang ide ini. Dalam perspektif hilirisasi, yang diklaim menghasilkan manfaat ekonomi lebih besar daripada dijual dalam bentuk mentah (raw material), melaksanakan gasifikasi batu bara (coal gasification) tampak masuk akal.

Hilirisasi yang menjadi andalan di periode kedua pemerintahan Joko Widodo, saat ini akan diteruskan dan diperluas oleh penggantinya, Presiden Prabowo Subianto.

Buat sebagian kalangan yang setuju, hilirisasi nikel adalah kisah manis yang layak dilanjutkan. Data menunjukkan, sebelum hilirisasi, ekspor bijih nikel tahun 2013 cuma 5,4 miliar dollar AS.

Setelah hilirisasi, nilai ekspor turunan nikel pada 2022 melompat menjadi 35,6 miliar dollar AS atau 6,6 kali lebih tinggi.

Hasil menggiurkan dari sisi ekonomi tadi tidak menyertakan imbas kerusakan lingkungan serta emisi karbon dioksida (CO2) yang dimuntahkan oleh kegiatan hilirisasi. Sebab, negeri kita masih mengandalkan PLTU batu bara dalam mengolah dan memproduksi nikel.

Institute for Energy Economics and Financial Analysis (2024) melaporkan empat perusahaan nikel yang beroperasi di negeri kita menyumbang emisi karbon sebesar 15 juta ton pada 2023.

Bila empat perusahaan nikel yang diteliti itu melaksanakan ekspansi, emisi karbon yang dimuntahkan ke atmosfer ditaksir akan melenting menjadi 38,5 juta ton pada 2028 mendatang.

Jadi, hilirisasi tidak selalu manis. Ada pula dampak pahitnya. Demikian juga dengan gasifikasi batu bara, program yang diniatkan dapat mengurangi ketergantungan kita terhadap impor Liquefied Petroleum Gas (LPG).

Indonesia masih mengimpor 6,9 juta ton LPG setahun yang menyebabkan devisa amblas hingga Rp 63,5 triliun.

Setidaknya ada dua klaim menyangkut gasifikasi batu bara: Lebih ramah lingkungan dan menguntungkan karena negeri kita kaya dengan batu bara.

Pada 2022 lalu, Low Carbon Development Indonesia (LCDI) menganalisis pemanfaatan DME dari batu bara.

Untuk menghasilkan DME tidak bisa main sulap. Setidaknya ada lima tahap yang harus ditempuh, yakni gasifikasi, pembuangan gas sulfur, pengkondisian sintesis gas, sintesis serta pemurnian DME.

Tahapan-tahapan ini ternyata juga menghasilkan gas kotor seperti CO2, CO hingga H2S. Artinya, batu bara tetap batu bara, meski menggunakan kategori kalori rendah, masih menyemburkan gas rumah kaca.

Gasifikasi batu bara seperti kaset lama yang diputar ulang. Hilirisasi ini telah dilempar sebagai wacana sejak 2016 silam.

Enam tahun kemudian, 24 Januari 2022, Joko Widodo meresmikan groundbreaking gasifikasi batu bara menjadi DME di Muara Enim, Sumatra Selatan. Air Products and Chemicals Inc (APCI) dari Amerika Serikat ikut investasi dalam proyek ini. 

Namun, kisah hilirisasi batu bara yang digalang Jokowi ini berujung muram karena APCI mundur sehingga PT Bukit Asam Tbk harus mencari investor baru.

KUBET – Kebutuhan Naik, Energi Terbarukan Rendah, Industri Menahan Diri

Ilustrasi turbin angin

Lihat Foto

energi bersih.

Hal tersebut terjadi karena permintaan listrik yang meningkat karena perkembangan teknologi AI, elektrifikasi, dan relokasi manufaktur tak diimbangi dengan tersedianya pasokan energi tersebut.

Temuan ini berdasarkan laporan Ernst & Young (EY) berjudul ‘Navigating the Energy Transition‘ yang meriset lebih dari 2.400 pengambil keputusan di perusahaan-perusahaan besar hingga menengah di delapan pasar global pada tahun ini.

Melansir Edie, Kamis (1/5/2025), temuan EY menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan global memperkirakan peningkatan signifikan dalam penggunaan listrik mereka tiga tahun ke depan, dengan lebih dari separuhnya memproyeksikan kenaikan yang sangat signifikan hingga dua digit.

EY memperkirakan bahwa kebutuhan listrik dunia akan meningkat secara signifikan pada tahun 2050, dan sebagian besar peningkatan ini akan disebabkan oleh konsumsi energi yang lebih tinggi dari sektor komersial dan industri.

Penelitian EY mengidentifikasi bahwa lonjakan permintaan listrik global disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor, termasuk kebutuhan daya besar dari AI generatif, investasi perusahaan dalam kendaraan listrik dan infrastruktur data, penggunaan peralatan yang boros energi, serta kebijakan pemerintah dan tren relokasi manufaktur.

Ketersediaan listrik yang andal dan biaya energi yang stabil menjadi perhatian utama bagi sebagian besar perusahaan global.

Namun dua pertiga responden mengatakan mereka khawatir tentang akses listrik yang andal, kesulitan mendapatkan pasokan listrik yang cukup dan fluktuasi harga energi.

Pasalnya hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan bisnis mereka dan mengurangi keuntungan serta daya saing mereka di pasar.

Selain itu, perusahaan-perusahaan sedang aktif berinvestasi dalam mengadopsi teknologi yang menggunakan listrik (elektrifikasi) dan proses bisnis yang berbasis digital (digitalisasi).  Banyak perusahaan merasa bahwa perusahaan penyedia energi (listrik) mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka yang terus meningkat dan berubah akibat investasi tersebut.

Beberapa masalah yang menyebabkan ketidakpuasan antara lain Infrastruktur dan teknologi yang digunakan oleh penyedia energi sudah tua dan tidak efisien, kontrak perjanjian pasokan energi yang tidak dapat disesuaikan dengan kebutuhan bisnis dan juga Kurangnya solusi energi yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan unik dari berbagai jenis industri.

Sebagai respons terhadap masalah-masalah tersebut, banyak perusahaan kini mulai mempertimbangkan solusi alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi mereka.

Sekitar 20 persen telah berinvestasi dalam pembangkitan listrik di tempat dan penyimpanan baterai. Dua pertiga berencana untuk memperluas upaya ini dalam tiga tahun ke depan.

Tak heran survei kemudian menemukan bahwa meskipun sebagian besar perusahaan yang disurvei telah menetapkan target emisi dan sedang mencari sumber energi yang lebih bersih, tetapi laporan menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan lagi satu-satunya atau bahkan prioritas utama.

Keberlanjutan berada di urutan ketiga di semua industri, namun lebih cenderung menjadi prioritas utama bagi perusahaan teknologi dan produsen.

Akan tetapi laporan tersebut menyoroti bahwa perusahaan-perusahaan semakin berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi dan pengurangan emisi karbon dapat dan harus dicapai secara bersamaan.

Mereka tidak ragu untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan, termasuk mengganti penyedia energi atau berinvestasi dalam infrastruktur energi sendiri, untuk memastikan kedua tujuan tersebut tercapai.