KUBET – RUPTL PLN dan Pragmatisme Transisi Energi

Suasana di PLTU Sukabangun, Ketapang, Kalimantan Barat.

Lihat Foto

PLN 2025-2035 oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada Senin, 26 Mei 2025, kembali memantik perdebatan publik.

Di satu sisi, ada apresiasi terhadap komitmen meningkatkan porsi energi baru terbarukan (EBT). Namun di sisi lain, kritik tajam dilontarkan karena rencana penambahan kapasitas pembangkit fosil sebesar 16,6 GW atau 24 persen dari total 69,6 GW—termasuk PLTU 6,3 GW dan PLTG 10,3 GW.

Sebagian kalangan bahkan mengecam RUPTL ini sebagai dokumen yang “buruk” karena dinilai belum mencerminkan transisi menuju 100T.

Sebagai peneliti yang menulis disertasi PhD bertajuk “100% Renewable Energy Integration in Indonesia”, saya termasuk pendukung EBT.

Riset yang saya kerjakan di The Australian National University ini menemukan bahwa Indonesia sebetulnya memungkinkan untuk bertransisi sepenuhnya ke energi terbarukan—potensi sumber daya tersedia, teknologi baterai ada, dan harganya relatif ekonomis.

Namun demikian, saya harus mengakui bahwa dalam praktiknya, transisi energi tidaklah semudah membalik telapak tangan. Tidak ada solusi sempurna, dan kompleksitas teknis, ekonomi, serta sosial melekat pada transisi skala raksasa ini.

Kritik yang menuntut kesempurnaan instan seringkali terjebak dalam Nirvana Fallacy—kekeliruan logis yang menolak solusi realistis karena membandingkannya dengan ideal yang belum dapat dicapai.

Dalam konteks RUPTL, fallacy ini muncul ketika kita berharap sistem kelistrikan Indonesia dapat serta-merta beralih sepenuhnya ke EBT, mengabaikan kompleksitas teknis, ekonomi, dan sosial yang melekat pada transisi energi skala nasional.

Mengkritisi RUPTL semata karena masih mengakomodasi pembangkit fosil, tanpa mempertimbangkan realitas infrastruktur dan kebutuhan stabilitas sistem, adalah manifestasi nyata dari kekeliruan logis ini.

100T tidak bisa instan

Pembangkit listrik tenaga surya hanya beroperasi saat ada cahaya matahari, pembangkit listrik tenaga baru bergantung pada hembusan angin.

Hal ini menyebabkan fluktuasi pasokan yang signifikan. Untuk menjaga stabilitas sistem, dibutuhkan kapasitas cadangan dan sistem penyimpanan energi masif.

Teknologi penyimpanan seperti baterai lithium berskala besar memang dapat dibangun dalam waktu relatif singkat, tapi biayanya masih sangat tinggi.

Indonesia memiliki potensi pumped hydro storage yang besar dengan biaya lebih murah, tetapi pembangunannya memerlukan perencanaan matang dan alokasi waktu yang cukup panjang.

Indonesia memiliki cadangan batu bara melimpah dengan harga relatif terjangkau. Menghentikan total penggunaan batu bara dalam waktu singkat tanpa alternatif memadai sama dengan mempertaruhkan stabilitas pasokan listrik nasional dan pertumbuhan ekonomi.

Infrastruktur pembangkit fosil yang sudah terbangun merupakan aset bernilai triliunan rupiah yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Posted in Tak Berkategori

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *