
Sampah (kata benda) dan “nyampah” (kata kerja) di sini tak selalu bergerak di daratan, tapi bergerak dari bumi (bawah) ke atmosfer (atas) yang mengatasi gaya gravitasi.
Pada titik tertentu GRK menyelamatkan bumi dari suhu yang kelewat dingin (sekian derajat di bawah nol), tapi karena akumulasi yang kelewat masif, gas-gas tadi telah menjadi “racun” yang bikin temperatur planet ini makin panas.
Sepanjang 2024, hutan hujan primer seluas 6,7 juta hektare di wilayah tropis, hilang, karena ulah manusia.
Hutan seluas Panama yang sedianya berguna untuk menyimpan karbondioksida (CO2), tandas sehingga bikin akumulasi GRK di atmosfer naik tajam. Satu hektare hutan dapat menyimpan paling kurang 50 ton CO2 sepanjang siklus hidupnya.
Jadi, bukan kebetulan jika emisi CO2, atau sebut saja “sampah karbon” pada 2024 melesat satu miliar ton menjadi 41,6 miliar ton (Global Carbon Budget).
Oh iya, akumulasi GRK di atmosfer dihitung dengan satuan ton CO2 ekuivalen. Artinya gas-gas lain seperti N2O dan CH4 dikonversi dalam ton CO2.
Jika masih kurang yakin betapa ulah manusia menyebabkan penumpukan “sampah karbon raksasa” di atmosfer, mari cermati data Badan Energi Internasional (IEA).
Ini menjelaskan kalau manusia “nyampah karbon” alias memuntahkan GRK secara sadar atau tidak sadar dalam kegiatan mereka sehari-hari.
Tahun 2024 lalu, gas CO2 yang ditumpahkan sektor energi menembus 37,8 Gt atau 37,8 miliar ton. Konsentrasi CO2 di atmosfer pun meroket jadi 422,5 ppm atau 50 persen lebih tinggi dari tingkat pra-revolusi industri.
Semua ini secara kait-mengait menyebabkan suhu bumi rata-rata melonjak di atas 1,5 derajat Celcius, alias lebih tinggi dari batas toleransi yang ditetapkan Perjanjian Paris 2015. Krisis iklim kian menjadi-jadi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut kerusakan lingkungan, bencana alam, cuaca ekstrem, kerawanan pangan dan air, gangguan ekonomi hingga konflik dan teror telah mengancam manusia akibat suhu bumi yang kian terpanggang.
Di lamannya, PBB menulis: Tidak ada benua yang tidak tersentuh gelombang panas, kekeringan, topan hingga badai yang menyebabkan kerusakan massal di seluruh dunia.
Masih kata PBB, kini 90 persen bencana terkait dengan cuaca dan iklim yang mengakibatkan kerugian ekonomi kolosal: 520 miliar dolar AS setahun. Itu separuh produk domestik bruto (PDB) Indonesia saat menjadi anggota negara “1 triliun dolar AS” sekian tahun silam.
Daya rusaknya ke mana-mana karena menyebabkan 26 juta jiwa penduduk bumi jatuh miskin.