KUBET – Hilirisasi Sawit Jadi Strategi Kemenperin Dukung Gizi Nasional

Ilustrasi kelapa sawit

Lihat Foto

Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika, mengatakan pihaknya bekerja sama dengan PT Kimia Farma untuk mengembangkan suplemen kesehatan berbasis kelapa sawit. Produk ini juga ditujukan sebagai pendukung program makan bergizi gratis (MBG).

“Riset ini merupakan langkah untuk mendukung kecukupan nutrisi masyarakat melalui produk kesehatan dari komoditas andalan nasional, termasuk dalam rangka menanggulangi stunting dan wasting,” ujar Putu dalam keterangan resminya, Senin (12/05/2025).

Menurut Kemenperin, selama ini masyarakat belum banyak menyadari bahwa minyak sawit mengandung nutrisi penting seperti Betacarotene, Tocopherol, MCT (Medium Chain Triglyceride), Squalane, dan antioksidan yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Namun, proses pemurnian kimiawi justru menghilangkan sebagian besar kandungan alami tersebut.

Oleh, sebab itu, pemerintah mendorong produksi suplemen sintetis berbasis nutrisi dari kelapa sawit yang diproses secara alami, agar kandungan gizinya tetap terjaga. Inisiatif ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan vitamin masyarakat, khususnya kelompok rentan seperti anak-anak sekolah serta ibu hamil dan menyusui.

Sebagai bagian dari dukungan kebijakan, Kemenperin akan memfasilitasi penyusunan Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) untuk produk suplemen sawit tersebut. Standar ini akan menjadi acuan dalam menjaga kualitas dan keamanan produk dalam mendukung program MBG.

Selain itu, Kemenperin juga akan menyelenggarakan pertemuan teknis ilmiah bersama pakar gizi nasional, serta menjembatani aspek legal kerja sama, termasuk manajemen kekayaan intelektual.

Langkah ini diambil agar hasil riset bersama dapat diimplementasikan dalam skala nasional dan berkontribusi pada ketahanan nutrisi secara menyeluruh dan berkelanjutan.

KUBET – KKP Dorong Arwana Super Red Legal dan Lestari Demi Ekonomi Lokal

Menteri KKP Wahyu Sakti Trenggono

Lihat Foto

Arwana Super Red, ikan endemik dari Kapuas Hulu, Kalimantan Barat yang mendunia.

Melalui pendekatan konservasi, legalitas, dan kolaborasi lintas sektor, KKP berupaya menjaga kelestarian spesies sekaligus menggerakkan ekonomi masyarakat lokal.

Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak, Syarif Iwan Taruna Alkadrie, menekankan pentingnya peran Arwana dalam ekosistem dan budaya lokal.

“Pelestarian Arwana berdampak langsung tidak hanya pada ekonomi masyarakat, tapi juga pada keseimbangan ekologi,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (12/5/2025).

Lebih lanjut, ia menyatakan pentingnya penguatan tata kelola ikan hias yang bertanggung jawab, termasuk perizinan usaha yang legal.

“Pengembangan ekonomi lokal harus berjalan seiring dengan perlindungan spesies,” katanya.

Komitmen ini diwujudkan dalam partisipasi BPSPL Pontianak di Kontes Arwana Pontianak – APPS Feat RDI Cup 2, yang digelar pada 1–4 Mei 2025. Ajang ini menghadirkan 197 ekor Arwana dari berbagai daerah dan menjadi ruang sinergi antara pemerintah, komunitas, dan pelaku usaha dalam mendorong praktik perikanan hias etis dan berkelanjutan.

Selain menjadi ajang edukasi publik mengenai pentingnya legalitas dalam pengelolaan ikan hias, kegiatan ini turut memberi dampak langsung bagi perputaran ekonomi lokal.

Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut, Koswara, menegaskan bahwa Arwana Super Red telah masuk daftar spesies yang dilindungi internasional melalui Appendix I CITES, dan secara nasional melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 1 Tahun 2021.

“Seluruh aktivitas penangkaran dan perdagangan Arwana wajib dilakukan secara legal dan berizin,” ujarnya.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menekankan bahwa pengelolaan ikan hias harus mengutamakan keberlanjutan, perlindungan keanekaragaman hayati, dan mendorong ekonomi biru melalui praktik yang sah.

KUBET – Menhut Raja Juli Lepas Liarkan Elang Jawa di Hutan Kamojang

Elang jawa betina bernama Sally dilepasliarkan di Gunung Halimun Salak, Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (16/9/2024). ANTARA/HO-SEGS

Lihat Foto

Raja Juli Antoni melepasliarkan dua elang jawa (Nisaetus bartelsi) ke habitat alaminya di Taman Wisata Alam Kawah Kamojang, perbatasan Kabupaten Bandung-Garut, Jawa Barat, dalam rangka melestarikan satwa liar dan keberlanjutan ekosistem hutan.

“Hari ini kita melepaskan dua ekor elang jawa, namanya Emilia, dan Biantara, ini hasil dari konservasi dan rehabilitasi,” kata Menhut Raja Antoni usai pelepasliaran elang di Kamojang, Kabupaten Bandung, Minggu (11/5/2025) pagi.

Ia menuturkan, pelepasliaran dua elang itu sebagai bukti untuk menjaga kelestarian elang sebagai satwa liar, kemudian populasi dan juga untuk menjaga keberlanjutan ekosistem hutan.

Masyarakat, kata dia, sebaiknya tidak memelihara elang atau jenis satwa liar lainnya yang dilindungi, sebaiknya diserahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk direhabilitasi sebelum nanti kembali dilepasliarkan.

“Saya mengimbau tidak menangkap dan memelihara satwa liar, kalau sekarang masih ada yang memelihara mohon diserahkan kepada BKSDA,” katanya.

Sebelum agenda pelepasliaran dua elang itu, Menhut didampingi jajaran dirjennya melakukan peninjauan ke Pusat Konservasi Elang Kamojang (PKEK) di Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut.

Menhut mendapatkan kesempatan untuk melihat langsung sejumlah elang yang sedang menjalani rehabilitasi karena sebelumnya ada yang dipelihara oleh warga, sehingga sifat aslinya sebagai satwa liar hilang ada juga yang sakit seperti patah sayapnya.

“Kita lihat dua sayapnya patah, kasihan sekali. Kalau kita menyaksikan bagaimana satwa yang sakit itu, benar-benar menyedihkan,” kata Menhut.

Ia menyampaikan, elang yang masuk ke PKEK di Garut itu sebagian dari masyarakat yang secara sukarela menyerahkan peliharaan elangnya, kemudian ada juga yang terluka hasil tangkapan.

Seluruh elang yang direhabilitasi itu, kata dia, selalu dicek kondisi kesehatannya oleh dokter hewan, kemudian dilatih agar kembali memiliki sifat liarnya sebagai pemburu, setelah sehat akan dilepasliarkan di alam bebas habitatnya.

“Kalau sudah sehat kemudian dididik dengan kandang yang lebih besar sampai nanti sifat liarnya sudah ada, baru kita lepas liarkan kembali,” katanya.

Sementara itu, dua elang jawa yang dilepasliarkan di Hutan Kamojang yakni Emilia merupakan elang betina yang sebelumnya dipelihara di Bogor Pusat Suaka Satwa Elang Jawa (PSSEJ) Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, kemudian melewati masa rehabilitasi 11 bulan, dan Biantara elang jantan yang lahir di PSSEJ melewati masa rehabilitasi selama 24 bulan sampai akhirnya dilepasliarkan.

KUBET – 4 Alasan Tahun 2025 Jadi Titik Balik Ekonomi Biru

Koloni Galaxea astreata yang ditemukan di pantai utara Nusa Penida, di lepas Desa Sental, tempat menyelam yang sangat populer di Bali.

Lihat Foto

Lebih dari itu, lautan adalah paru-paru planet: menghasilkan 50 persen oksigen dan menyerap lebih dari 25 persen karbon dioksida akibat aktivitas manusia. Tak heran, transisi menuju ekonomi yang positif bagi alam dan berkelanjutan tak mungkin terjadi tanpa ekonomi biru yang sehat.

Namun, meski penting, investasi di sektor kelautan masih jauh dari target pendanaan 1,5 triliun dollar AS (dari pasar sovereign) dan 1 triliun dollar AS (dari pasar swasta) yang dibutuhkan hingga tahun 2030. Kesenjangan pendanaan ini krusial untuk diatasi, dan sektor keuangan memegang peran kunci.

Lima tahun ke depan adalah masa penentu, dengan tahun 2025 menonjol sebagai potensi titik balik, terutama karena dua agenda penting: Blue Economy and Finance Forum (BEFF) dan Third UN Ocean Conference (UNOC3) yang keduanya akan berlangsung pada Juni 2025.

Seperti dilansir laman World Economic Forum, ada empat alasan utama mengapa momentum ekonomi biru regeneratif bisa terakselerasi tajam di tahun 2025:

Degradasi ekosistem kini dirasakan langsung oleh banyak perusahaan, memicu antusiasme yang belum pernah terjadi sebelumnya. Buktinya, 3.000 perwakilan bisnis dan lembaga keuangan hadir di UN Biodiversity Conference (COP16) pada November 2024, tiga kali lipat dari pertemuan sebelumnya.

Mereka sadar, laut yang lestari menawarkan manfaat ekonomi bersih positif lebih dari 15 triliun dollar AS, setara 15 persen PDB global. Diskusi pun bergeser dari “mengapa” berinvestasi ke “bagaimana” dan “di mana.”

Investasi biru tak hanya menguntungkan finansial, tapi juga strategis, mendukung transisi energi dan menciptakan manfaat sosial-lingkungan, seperti yang ditunjukkan laporan World Economic Forum, Nature Positive: Role of Ports, yang menyoroti peluang bagi pelabuhan untuk menjadi “positif bagi alam.”

Mekanisme inovatif untuk menjembatani kesenjangan pendanaan semakin matang. Laporan Standard Chartered, Towards a Sustainable Ocean: Where There’s a Will, There’s a Wave, memetakan berbagai instrumen, dari pinjaman dan obligasi biru hingga blended finance dan skema kredit lingkungan.

Inovasi seperti “debt-for-nature” atau “debt-for-sustainability” telah mendemonstrasikan dampaknya; melalui transaksi seperti yang didukung Standard Chartered di Bahama, pendanaan konservasi laut sebesar 124 dollar AS juta berhasil dibuka, berkontribusi pada hampir dua kali lipat peningkatan dana konservasi laut dalam beberapa tahun singkat.

Pemerintah di berbagai tingkatan semakin gencar menerapkan kebijakan kelautan, mulai dari pembatasan polusi hingga pengelolaan perikanan berkelanjutan. Di tingkat global, Target 3 dari Global Biodiversity Framework menyerukan perlindungan 30% daratan dan lautan pada 2030 (30×30).

Namun, efektivitasnya bergantung pada pengelolaan laut lepas yang mencakup dua pertiga samudra. Ratifikasi High Seas Treaty menjadi sangat penting, dan UNOC 2025 akan menjadi panggung krusial untuk mendorong kemajuan ini, sekaligus menghilangkan ketidakpastian bagi investor.

KUBET – Menteri LH: Kelapa Sawit Bisa Jadi Lebih Ramah Lingkungan

Ilustrasi perkebunan kelapa sawit

Lihat Foto

kelapa sawit bisa tetap memberikan keuntungan bagi negara, sembari menjaga lingkungan agar tetap hijau.

“Hari ini kita berhasil membuktikan bahwa PT Perkebunan Nusantara (PTPN) merupakan salah satu dari perusahaan kita, telah mampu mereduksi emisi gas rumah kacanya setara dengan 33.700 ton CO2 ekuivalen,” kata Menteri Hanif saat mengunjungi fasilitas pengelolaan sawit milik PTPN di Lubuk Dalam, Kabupaten Siak, Riau, Sabtu (10/5/2025).

Menteri Hanif memaparkan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca tersebut diperoleh dengan pemanfaatan limbah sisa kelola sawit menjadi biogas, untuk kemudian dikelola menjadi sumber energi terbarukan sebesar 1 megawatt (MW).

Energi tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk keperluan pengelolaan sawit, serta kebutuhan listrik di wilayah tersebut.

“Sektor agriculture adalah sektor yang diidentifikasi sebagai salah satu penyumbang emisi. Bersama sektor yang lain sebenarnya sektor agriculture ini paling rendah. Langkah-langkah secara fundamental melalui program Environmental, Social, and Governance (ESG) dari PTPN kemudian mencoba mengartikulasikan kegiatan ini melalui renewable energy dari pemanfaatan bumi,” ujarnya.

Menurut Menteri Hanif, hal ini merupakan langkah awal dalam membuktikan kepada dunia bahwa industri kelapa sawit Indonesia tidak seperti yang dibayangkan dengan berbagai dampak buruk yang menjadi isu global.

“Penting kemudian menjadikan ini (sebagai) upaya kita di tengah-tengah kancah perdagangan internasional yang menggunakan segala cara untuk mendiskon produk-produk kita termasuk isu-isu negatif palm oil,” tegasnya.

Oleh karena itu, Hanif mengajak seluruh pengusaha kelapa sawit di Indonesia untuk bersama-sama mereplikasi apa yang telah dilakukan oleh PTPN dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.

“Harapan kami ini menjadi salah satu kunjungan untuk menstimulasi teman-teman yang lain bisa belajar bagaimana menyusun ini, jadi tidak perlu lambat-lambat (dalam pengurangan emisi gas rumah kaca), karena sudah ada contohnya,” tutur Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq.

KUBET – Kemenperin Dorong Industri Hijau lewat Pendanaan dan Kawasan Smart-Eco

Menperin Agus Gumiwang.

Lihat Foto

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan bahwa sektor industri merupakan kontributor signifikan emisi gas rumah kaca (GRK). Berdasarkan data Kemenperin, emisi GRK dari sektor ini mencapai 238,1 juta ton CO2e pada 2022—sekitar 8–20 persen dari total emisi nasional selama 2015–2022.

Sebagai respons, Kemenperin telah menyusun Peta Jalan Dekarbonisasi, mendorong implementasi Mekanisme Perdagangan Karbon, serta menerapkan kebijakan pengurangan emisi yang ditargetkan pada sembilan sektor utama: semen, ammonia, logam, pulp dan kertas, tekstil, kimia, keramik dan kaca, makanan dan minuman, serta transportasi.

“Langkah ini diproyeksikan dapat mendorong efisiensi sumber daya dan mengurangi dampak lingkungan dari aktivitas industri,” kata Agus, Sabtu (10/5/2025).

Untuk mempercepat transisi, pemerintah juga menggalakkan ekonomi sirkular, teknologi Carbon Capture and Utilization (CCU), dan pengembangan Standar Industri Hijau. Hingga akhir 2024, sebanyak 149 Sertifikat Industri Hijau telah diterbitkan, disertai dengan 62 standar dan 46 regulasi teknis terkait efisiensi energi, pengelolaan bahan baku, dan pengurangan limbah.

Namun, Agus mengakui bahwa adopsi transformasi hijau masih terbentur pada persepsi biaya yang tinggi. “Transformasi seperti ini memang mahal. Karena itu, pemerintah harus hadir untuk membantu menyiapkan skema pendanaan,” ujarnya.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Kemenperin tengah menyiapkan Green Industry Service Company (GISCO)—sebuah agregator pembiayaan yang menjembatani industri dengan akses ke green financing melalui investor dan lembaga keuangan.

Langkah lain yang didorong adalah pengembangan kawasan industri hijau menuju konsep Smart-Eco Industrial Park, dengan efisiensi sumber daya dan teknologi rendah karbon. Enam kawasan industri telah ditetapkan sebagai proyek percontohan, termasuk di Medan, Bekasi, dan Cilegon.

Sebagai bentuk apresiasi, Kemenperin juga menggelar Penghargaan Industri Hijau yang telah dianugerahkan kepada 1.165 perusahaan, mencakup lima kategori seperti transformasi hijau dan kontribusi pemerintah daerah.

KUBET – NOAA Setop Pelacakan Biaya Bencana Iklim Usai Anggaran Dipangkas Trump

Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat tiba di Rose Garden, Gedung Putih, Washington DC, 1 Mei 2025.

Lihat Foto

bencana cuaca, termasuk gelombang panas, banjir, dan kebakaran hutan.

Keputusan ini diambil setelah badan tersebut mengalami pemangkasan anggaran besar-besaran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) staf oleh pemerintahan Presiden Donald Trump.

NOAA menyatakan bahwa mereka tidak akan lagi memperbarui basis data Bencana Cuaca dan Iklim bernilai miliaran dolar di Pusat Informasi Lingkungan Nasional (NCEI), yang telah mengumpulkan informasi selama lebih dari 45 tahun. Hal ini berarti data mengenai kerugian akibat bencana cuaca ekstrem akan berhenti diperbarui.

“Pemerintahan ini berpikir bahwa jika mereka berhenti mengidentifikasi perubahan iklim, perubahan iklim akan hilang begitu saja,” ujar Eric Sorensen, Anggota DPR dari Illinois, dalam komentarnya yang dikutip dari Ecowatch pada Senin (12/05/2025).

Saat ini disitus resmi NOAA menyatakan bahwa hingga 8 April 2025, tidak ada bencana cuaca yang menyebabkan kerugian miliaran dolar. Namun, para ilmuwan di NCEI memperkirakan bahwa enam hingga delapan bencana besar telah terjadi sepanjang tahun ini.

Di antaranya adalah kebakaran hutan besar yang melanda sebagian wilayah Los Angeles pada awal tahun, yang merusak properti dan infrastruktur senilai sekitar 150 miliar dolar AS — menjadikannya bencana paling mahal dalam sejarah Amerika Serikat.

Badai dahsyat, termasuk tornado, serta banjir, juga telah menyebabkan kerusakan signifikan di Amerika Serikat tahun ini. Di antara bencana-bencana tersebut, badai petir dengan angin kencang dan hujan es mencatatkan kerugian terbesar. Badai ini bertanggung jawab atas sekitar 75 persen dari total kerugian senilai 28 miliar dolar AS pada tahun 2023.

Juru bicara NOAA, Kim Doster, menjelaskan bahwa keputusan untuk menghentikan pembaruan basis data bencana ini disebabkan oleh perubahan prioritas, mandat undang-undang, dan pengurangan staf.

Padahal, selama beberapa dekade, NOAA telah melacak ratusan peristiwa cuaca ekstrem di seluruh negeri yang menyebabkan kerusakan triliunan dolar. Basis data tersebut telah menggunakan informasi dari Badan Manajemen Darurat Federal (FEMA), lembaga negara bagian, dan organisasi asuransi untuk menghitung total kerugian setiap bencana.

Jeremy Porter, salah satu pendiri First Street, sebuah firma pemodelan keuangan yang menilai risiko iklim, menyatakan bahwa tanpa pendanaan untuk basis data bencana NOAA, sulit untuk mereplikasi atau memperluas analisis tren kerusakan, terutama pada tingkat regional atau lintas jenis bahaya.

Porter menjelaskan, “Yang membuat sumber daya ini sangat berharga bukan hanya metodologinya yang terstandarisasi selama beberapa dekade, tetapi juga fakta bahwa data ini diambil dari sumber-sumber yang tidak dapat diakses oleh sebagian besar peneliti, seperti estimasi kerugian reasuransi dan basis data klaim swasta.”

Jeff Masters, seorang ahli meteorologi dari Yale Climate Connections, menambahkan bahwa basis data NOAA telah menjadi “standar emas” yang digunakan untuk mengevaluasi biaya cuaca ekstrem, dan tidak ada pengganti yang dapat diandalkan.

Selain itu, kini para ahli telah menghubungkan meningkatnya intensitas peristiwa cuaca ekstrem, termasuk Badai Milton, kebakaran hutan di California selatan, dan suhu yang sangat panas, dengan krisis iklim. Kristina Dahl, wakil presiden bidang sains dari lembaga nirlaba Climate Central, juga menegaskan bahwa meskipun pemerintah menghentikan pendanaan untuk pelacakan biaya bencana, kenyataannya adalah peristiwa cuaca ekstrem terus meningkat dari tahun ke tahun.

“Peristiwa cuaca ekstrem yang menyebabkan banyak kerusakan adalah salah satu cara utama bagi masyarakat untuk melihat bahwa perubahan iklim sedang terjadi dan mempengaruhi kehidupan mereka,” kata Dahl.

Ia menambahkan, kalau sangat penting untuk menyoroti peristiwa-peristiwa ini, karena semua perubahan ini akan membuat warga Amerika semakin rentan terhadap dampak perubahan iklim
Sumber: https://www.ecowatch.com/noaa-climate-crisis-disasters-cost-tracking.html

KUBET – Inggris Galau, Haruskah Libatkan China dalam Proyek Energi Angin Raksasa?

Ilustrasi Pemanfaatan Energi Angin

Lihat Foto

Perdebatan ini mencuat setelah Green Volt, konsorsium antara Flotation Energy dari Skotlandia dan Vårgrønn dari Norwegia, menunjuk Mingyang, perusahaan turbin angin lepas pantai terbesar di Tiongkok, sebagai kandidat utama pemasok untuk proyek mereka.

Green Volt tengah membangun ladang angin terapung komersial pertama di Eropa dan terbesar di dunia. Proyek ini dirancang untuk menyuplai listrik ke anjungan minyak dan gas—menggantikan pembangkit berbahan bakar diesel dan gas—sekaligus menyalurkan energi terbarukan ke jaringan listrik nasional Inggris.

Namun, keputusan untuk menggandeng perusahaan China bukan perkara mudah.

Keputusan apakah akan menggunakan turbin dari Mingyang menjadi sorotan publik.

Hal ini tak lepas dari insiden sebelumnya, ketika pemerintah Inggris mengambil alih kendali atas British Steel. Saat itu, pemilik British Steel asal Tiongkok, Jingye Group, dilaporkan ingin menutup pabrik di Scunthorpe agar Inggris bisa menjadi tempat “pembuangan” baja China.

Insiden ini memicu kritik keras dan seruan agar perusahaan asal Tiongkok tidak lagi diikutsertakan dalam proyek-proyek infrastruktur vital Inggris.

Dampaknya terasa hingga sekarang. Kendati belum ada proses formal pemerintah yang melarang, Green Volt dikabarkan telah menunggu tanggapan dari menteri selama berminggu-minggu.

Masalahnya, kalau bukan China, siapa? Inggris tidak memiliki kemampuan memadai untuk memproduksi turbin sendiri. Sementara itu, upaya untuk menggandeng produsen Eropa juga menemui jalan buntu.

“Mereka sudah mencoba mendapatkan produsen dari Eropa, tapi tidak berhasil,” kata sumber industri soal Green Volt.

“Semua orang ingin mencapai tujuan itu. Tapi kalau bukan dari perusahaan Tiongkok, siapa yang akan memasok turbin untuk kita?” imbuhnya.

Proyek Green Volt dinilai sangat penting untuk mendukung misi Inggris mencapai emisi nol bersih (net zero) pada 2050.

Namun, ambisi itu kembali terguncang setelah Ørsted, perusahaan asal Denmark, membatalkan proyek ladang angin Hornsea 4, salah satu yang terbesar di Inggris. Meski begitu, pemerintah masih berharap Ørsted akan kembali ke meja perundingan.

KUBET – Dua Pertiga Emisi Global Ternyata Ulah 10 Persen Orang Terkaya!

Ilustrasi perubahan iklim

Lihat Foto

Nature Climate Change mengungkap fakta mencengangkan: dua pertiga pemanasan global sejak 1990 disebabkan oleh aktivitas dan gaya hidup 10 persen orang terkaya di dunia.

Ini adalah studi pertama yang secara kuantitatif mengaitkan kekayaan pribadi yang terkonsentrasi dengan peningkatan kejadian iklim ekstrem di dunia nyata.

“Kami menghubungkan jejak karbon individu terkaya secara langsung dengan dampak iklim di dunia nyata. Ini adalah pergeseran dari penghitungan karbon menuju akuntabilitas iklim,” kata Sarah Schoengart, ilmuwan ETH Zurich, dikutip dari Science Alert (10/5/2025)

Penelitian ini menggabungkan data ekonomi dan simulasi iklim untuk menunjukkan bagaimana emisi dari kelompok pendapatan tertinggi berkontribusi pada meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana iklim seperti gelombang panas, banjir, dan kekeringan.

Para peneliti menekankan bahwa jejak karbon orang kaya bukan hanya berasal dari gaya hidup konsumtif mereka, tetapi juga dari cara mereka menginvestasikan uangnya. Investasi dalam sektor-sektor intensif karbon turut memperbesar kontribusi mereka terhadap emisi gas rumah kaca.

“Upaya mengatasi perubahan iklim akan kurang efektif jika tidak secara khusus menargetkan dan meminta pertanggungjawaban dari kelompok masyarakat terkaya yang memiliki kontribusi emisi terbesar,” kata Carl-Friedrich Schleussner dari International Institute for Applied Systems Analysis.

Salah satu kebijakan yang dinilai lebih adil dan efektif adalah pajak progresif atas kekayaan dan investasi berbasis karbon, dibandingkan pajak karbon biasa yang justru bisa membebani masyarakat berpendapatan rendah.

Meskipun sejumlah negara telah mendorong pajak terhadap super kaya dan korporasi besar, implementasinya berjalan lambat. Tahun lalu, Brasil selaku tuan rumah G20 mengusulkan pajak dua persen atas kekayaan bersih individu dengan aset di atas 1 miliar dolar AS. Namun, tindak lanjut konkret belum terlihat.

Pada 2021, hampir 140 negara sepakat untuk bergerak menuju pajak perusahaan global minimum 15 persen, tetapi pembicaraannya mandek di tengah jalan.

Menurut Forbes, hampir sepertiga miliarder dunia berasal dari Amerika Serikat. Sementara itu, data Oxfam menunjukkan bahwa 1 persen orang terkaya telah mengumpulkan kekayaan baru senilai 42 triliun dolar AS selama 10 tahun terakhir—lebih besar dari gabungan kekayaan 95 persen orang termiskin di dunia.

KUBET – Apakah Melindungi Harimau di Hutan Bisa Atasi Perubahan Iklim?

Harimau Sumatera merupakan salah satu fauna Asiatis.

Lihat Foto

Hutan tanpa predator puncak seperti harimau berisiko mengalami dominasi berlebihan dari hewan herbivora besar yang bisa makan terlalu banyak tumbuhan.

Akibatnya, jumlah karbon yang tersimpan di tumbuhan akan berkurang, dan hutan juga jadi kurang efektif dalam membersihkan karbon dioksida dari udara. Padahal, kemampuan hutan ini sangat penting untuk mengatasi perubahan iklim.

Jadi, sama seperti kita melindungi dan memulihkan hutan untuk membantu meningkatkan populasi hewan pemangsa teratas, menjaga keberadaan hewan pemangsa besar juga merupakan hal penting untuk membantu tumbuhan pulih.

Sayangnya, cara alami untuk mengatasi perubahan iklim tersebut belum banyak dipelajari.

Kini penelitian yang dipublikasikan dalam Global Change Biology, berhasil mengungkap relasi antara predator puncak dengan perubahan iklim.

Seperti dikutip dari Phys, Jumat (9/5/2025) peneliti menemukan bahwa hutan yang ada harimaunya, memiliki tumbuhan yang menyimpan karbon lebih banyak.

Selain itu, hutan-hutan yang memiliki populasi harimau menghasilkan lebih sedikit gas karbon dioksida dan lebih banyak menyerapnya dibandingkan hutan yang tidak ada harimaunya.

Peneliti juga melihat bahwa semakin banyak harimau di empat jenis hutan yang mereka teliti, semakin banyak juga karbon yang tersimpan di tumbuhan dan tanah hutan tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan harimau bisa menjadi tanda sekaligus penyebab banyaknya karbon yang tersimpan di hutan, tergantung pada kondisi alam di hutan tersebut.

Dengan adanya harimau, hutan juga bisa lebih terlindungi dari pelepasan gas karbon.

“Analisis kami menunjukkan bahwa kepadatan harimau dapat memengaruhi cadangan karbon vegetasi hutan dengan mengendalikan mangsa herbivora besar, tetapi ada ketergantungan konteks dan hasil variabel yang penting untuk dipertimbangkan,” kata penulis korespondensi Guangshun Jiang, Ph.D., dari Northeast Forestry University, China.

“Menambah lagi jumlah karbon yang tersimpan di hutan bisa membantu populasi harimau bertambah banyak. Di sisi lain, adanya harimau juga sepertinya membantu menjaga hutan dari penebangan liar dan pelepasan gas karbon akibat penebangan tersebut,” tambahnya.