KUBET – Regulator Perbankan Global Kompak Atasi Risiko Iklim

Ilustrasi perubahan iklim

Lihat Foto

perbankan global telah sepakat untuk memberikan prioritas utama pada risiko keuangan yang terkait dengan perubahan iklim.

Ini berarti mereka memperkuat komitmen untuk mengurangi dampak finansial dari kejadian cuaca ekstrem, seperti banjir, kekeringan, dan badai, terhadap sektor perbankan dan stabilitas keuangan global.

Langkah ini diprakarsai oleh badan pengawas Komite Basel tentang Pengawasan Perbankan.

Inisiatif tersebut menunjukkan adanya kesepakatan internasional yang signifikan dalam memasukkan pertimbangan iklim ke dalam regulasi dan pengawasan keuangan di tingkat global, bahkan saat Amerika Serikat mengadopsi pendekatan yang lebih hati-hati.

Melansir Know ESG, Selasa (13/5/2025) pernyataan yang dikeluarkan oleh Bank for International Settlements (BIS) mengungkapkan regulator mempercepat upaya memahami implikasi risiko keuangan terkait iklim setelah pertemuan para gubernur bank sentral dan kepala pengawas keuangan.

Kesepakatan global tersebut terjadi di tengah perdebatan yang lebih luas antara Eropa dan Amerika Serikat mengenai peran risiko iklim dalam kebijakan bank sentral.

Di Eropa, lembaga-lembaga seperti Bank Sentral Eropa (ECB) telah menjadikan manajemen risiko iklim sebagai prioritas utama dalam regulasi keuangannya.

Mereka secara aktif mempertimbangkan dampak perubahan iklim dalam kebijakan moneter dan pengawasan bank.

Sebaliknya, kebijakan di Amerika Serikat cenderung menjauhi mandat terkait lingkungan. Hal ini dipengaruhi oleh tekanan politik dan adanya pandangan yang bertentangan terhadap kerangka kerja Environmental, Social, and Governance (ESG), yang mencakup pertimbangan lingkungan dalam pengambilan keputusan ekonomi dan keuangan.

Lebih lanjut, Komite Basel akan membuat panduan sukarela tentang bagaimana negara-negara dapat memasukkan isu iklim ke dalam aturan keuangan mereka.

Walaupun panduan ini tidak wajib, standar dari Komite Basel biasanya sangat berpengaruh dan sering diikuti oleh banyak negara dalam membuat peraturan keuangan mereka sendiri, sehingga inisiatif terkait iklim ini berpotensi memiliki dampak besar di seluruh dunia.

Para ahli menilai bahwa Komite Basel memiliki pandangan yang lebih mirip dengan regulator Eropa dan Inggris dalam hal pentingnya mengatasi risiko iklim dalam keuangan.

Sementara The Fed di AS melakukan kajian terbatas, mereka cenderung membatasi peran mereka dalam isu ini, yang menyebabkan regulator AS semakin tidak sejalan dengan upaya global dalam mengatasi risiko iklim.

Contohnya, pada bulan Januari, Federal Reserve (The Fed) menarik diri dari Network of Central Banks and Supervisors for Greening the Financial System (NGFS).

NGFS adalah sebuah koalisi bank sentral dan pengawas keuangan dari berbagai negara yang memiliki komitmen untuk memasukkan pertimbangan risiko iklim ke dalam sistem keuangan global. Keluarnya The Fed dari kelompok ini merupakan indikasi kuat kurangnya komitmen AS pada inisiatif global tersebut.

Kemudian, pada bulan Maret, Office of the Comptroller of the Currency (OCC), yang merupakan bagian dari Departemen Keuangan AS dan bertugas mengawasi bank-bank besar di AS, membatalkan seperangkat prinsip iklim yang sebelumnya dikembangkan bersama untuk bank-bank besar AS.

Kendati AS tidak terlalu mendukung, Komite Basel terus mendorong agar risiko iklim menjadi fokus utama dalam mengawasi bank-bank di seluruh dunia.

Hal ini menjadi semakin penting karena dampak buruk perubahan iklim semakin nyata, dan kemampuan sistem keuangan untuk bertahan mungkin akan sangat dipengaruhi oleh seberapa serius bank sentral dan regulator mempertimbangkan aspek iklim dalam kebijakan mereka, bahkan jika pemerintah mereka tidak sepenuhnya mendukung.

KUBET – Bagaimana Formula 1 Eropa Mendukung Keberlanjutan?

Formula 1 menargetkan mencapai emisi karbon nol bersih pada tahun 2030

Lihat Foto

keberlanjutan terus diupayakan. Salah satunya adalah bekerja sama dengan Aggreko, yang telah ditetapkan sebagai Penyedia Solusi Tenaga Listrik Sementara untuk Formula 1 Eropa.

Kerjasama itu meliputi penggunaan Greener Upgrades, serangkaian solusi yang ditawarkan oleh perusahaan Aggreko termasuk tenaga surya fotovoltaik, dan bahan bakar nabati terhidrogenasi (HVO) untuk menyediakan tenaga listrik yang lebih berkelanjutan untuk Grand Prix Eropa hingga 2031.

Solusi energi rendah karbon dari Aggreko tidak hanya akan mendukung kebutuhan listrik di area paddock, tetapi juga akan memasok daya untuk International Broadcast Compound (pusat penyiaran internasional F1).

Penggunaan solusi energi rendah karbon ini adalah bagian dari rencana Formula 1 untuk menghilangkan lebih banyak emisi karbon dari atmosfer daripada yang mereka hasilkan pada tahun 2030.

“Dengan dukungan Aggreko, Formula 1 mengambil langkah lebih jauh untuk mengurangi emisi di Paddock,” kata Ellen Jones, Kepala ESG Formula 1, dikutip dari Sustainability Magazine, Rabu (14/5/2025).

“Solusi daya rendah karbon akan diterapkan di seluruh acara Eropa kami tahun ini dan akan semakin mendukung upaya kami untuk mencapai Net Zero pada tahun 2030,” paparnya lagi.

Robert Wells, Presiden dan Kepala Acara Eropa Aggreko, menambahkan solusi khusus menggunakan teknologi Greener Upgrades dapat membantu mencapai tujuan ESG dalam lingkungan Formula 1, yang dianggap sebagai ujian kinerja tertinggi.

Ia pun percaya bahwa kemitraan ini akan menjadi contoh yang cemerlang bagi penyelenggara acara-acara besar lainnya di seluruh dunia.

Aggreko pun berharap penyelenggara lain dapat belajar dari pendekatan progresif Formula 1 dalam mengurangi emisi dan terinspirasi untuk mempercepat perubahan menuju praktik yang lebih berkelanjutan dalam operasional acara mereka.

Kemitraan F1 dengan Aggreko merupakan kelanjutan dari kolaborasi sukses yang dimulai dengan proyek percontohan di Grand Prix Austria 2023.

Didorong oleh keberhasilannya, sistem tersebut diuji lebih lanjut di Red Bull Ring dan Grand Prix Hungaria 2024.

Pengurangan emisi karbon yang konsisten di ajang ini memperkuat rencana untuk menerapkan sistem tenaga terpusat ini di semua Grand Prix Eropa mulai tahun 2025.

Sistem penyediaan energi yang akan diterapkan oleh Aggreko dengan solusi Greener Upgrades menghilangkan kebutuhan bagi setiap tim balap dan pihak terkait lainnya seperti media, vendor, dll untuk membawa generator listrik mereka sendiri.

F1 sendiri telah berjanji untuk mencapai nol emisi pada tahun 2030, dengan berfokus pada pengurangan emisi dari perjalanan, logistik, dan penggunaan energi.

Transisi ke sumber energi terbarukan di ajang balap merupakan bagian penting dari strategi ini, dengan lebih dari 75 persen promotor kini menggunakan tenaga hijau.

KUBET – Paus Leo XIV dan Masa Depan Energi Terbarukan

Robert Francis Prevost, yang kini dikenal sebagai Paus Leo XIV, saat diperkenalkan sebagai paus baru terpilih di balkon Basilika Santo Petrus, Vatikan, Kamis (8/5/2025).

Lihat Foto

Paus Leo XIV menjadi magnet pemberitaan. Sosok bernama asli Robert Francis Prevost tersebut dikuliti luar dan dalam, entah di media massa maupun di media sosial.

Yang paling menarik adalah statusnya sebagai warga negara Amerika Serikat (AS) kelahiran Kota Chicago, Illinois.

AS bukan negara mayoritas Katolik, tetapi berhasil mengirim seorang puteranya sebagai pemimpin spiritual bagi 1,4 miliar warga dunia.

Di luar bumbu-bumbu personal, kiprah kepemimpinan Paus Leo XIV-lah yang paling ditunggu-tunggu. Sejumlah pengamat memprediksi Paus Leo XIV akan melanjutkan kiprah pendahulunya, mendiang Paus Fransiskus (1936-2025).

Era Paus Fransiskus dalam kurun 2013-2025, memiliki jejak unik dalam sejarah kepausan modern. Paus ke-266 tersebut memberikan penekanan khusus tentang isu sosial, salah satunya lingkungan.

Pada Mei 2015, Paus Fransiskus menerbitkan ensiklik bertajuk Laudato Si (Terpujilah Engkau). Surat amanat ini berisi refleksi teologis tentang bagaimana menghindarkan Bumi dari kerusakan dan pencemaran.

Pada poin 26 ensiklik, Fransiskus mendorong pengembangan sumber-sumber energi terbarukan untuk mengganti bahan bakar fosil.

“Di seluruh dunia akses ke energi bersih dan terbarukan masih minim. Masih perlu dikembangkan teknologi penyimpanan energi yang memadai,” tulis Paus dalam Laudato Si versi terjemahan Konferensi Waligereja Indonesia (2016).

Data International Renewable Energy Agency (IRENA) membuktikan dampak ensiklik tersebut. Pada 2015, ketika Laudato Si diterbitkan, IRENA mencatat kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan dunia sebesar 1.851 GW.

Sembilan tahun berselang, atau pada 2024, kapasitas terpasang melonjak menjadi 4.448 GW atau naik 140 persen.

Perlu diingat bahwa sepanjang 2015-2024, muncul sejumlah inisiatif hijau. Yang paling monumental adalah pada akhir 2015, ketika Perjanjian Paris menetapkan ikrar untuk menahan kenaikan suhu Bumi tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius.

Ensiklik Paus Fransiskus bersama dengan inisiatif lainnya turut andil mendorong penetrasi energi terbarukan.

Energi Vatikan

Paus adalah pemimpin umat Katolik sedunia. Kekuasaannya bersifat spiritual dan lintas batas negara.

Meski demikian, paus adalah kepala negara berdaulat, memimpin negara terkecil di Bumi, Vatikan. Luas negara ini hanya 44 ha dan penduduknya kurang dari 1.000 orang.

Sebagai kepala negara, paus tertuntut pula untuk melakukan langkah konkret. Untuk hal ini, buktinya memang meyakinkan.

KUBET – Dampak Nyata Perubahan Iklim dalam Kehidupan Sehari-hari

Ilustrasi banjir

Lihat Foto

perubahan iklim, Anda mungkin akan membayangkan banjir, badai, atau gelombang panas yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Namun rupanya ada banyak dampak lain yang mungkin tidak Anda sadari dan telah memengaruhi hidup kita sehari-hari.

“Ini adalah dampak perubahan iklim yang memengaruhi kehidupan orang-orang tetapi tidak selalu menjadi berita,” kata Jennifer Carman dari Universitas Yale.

Mengetahui tentang dampak tersebut dapat membantu orang mempersiapkan diri terhadap bagaimana perubahan iklim akan memengaruhi kehidupan mereka.

Lalu apa saja dampak perubahan iklim yang memengaruhi kehidupan sehari-hari kita, berikut di antaranya seperti dilansir dari New Scientist, Jumat (9/5/2025).

Suhu yang lebih panas akibat perubahan iklim berkontribusi terhadap inflasi harga.

Friderike Kuik dari Bank Sentral Eropa dan rekan-rekannya menganalisis hubungan antara perubahan suhu dan ribuan indeks harga dari seluruh dunia.

Secara keseluruhan, mereka menemukan bahwa suhu rata-rata yang lebih tinggi, bukan hanya peristiwa ekstrem menyebabkan inflasi.

Hal ini terutama berlaku di wilayah yang lebih dekat dengan garis khatulistiwa.

Mereka memproyeksikan bahwa pada tahun 2035, suhu yang lebih panas akan mendorong inflasi harga tahunan di berbagai barang sebesar 0,5 persen hingga 1,2 persen, tergantung pada jumlah gas rumah kaca yang diproduksi dunia.

Dampaknya sekitar dua kali lebih besar untuk harga pangan karena pertanian sangat rentan terhadap perubahan cuaca.

Suhu yang lebih tinggi juga berarti meningkatnya biaya pendingin udara.

Di tempat yang panas, orang-orang yang memiliki pendingin udara harus menyalakannya lebih lama dan lebih sering untuk mendapatkan efek pendinginan yang sama.

Hal ini sering kali dapat meningkatkan tagihan listrik melebihi kemampuan orang-orang.

Bahkan ketika kita dapat menyalakan pendingin udara, suhu yang lebih panas di malam hari dapat mengganggu tidur kita.

KUBET – Perburuan Cenderawasih Marak, Budaya Tak Bisa Jadi Alibi

Burung cendrawasih kecil Studi Temukan Bulu Ekor Burung Cendrawasih Indonesia Bercahaya Saat Kawin, untuk Apa?

Lihat Foto

Paradisaea apoda), salah satu satwa endemik Papua yang kini berstatus dilindungi.

Menurutnya, alasan budaya sering dijadikan tameng untuk mengeksploitasi burung langka yang dijuluki “burung surga” ini.

“Burung cenderawasih ini tidak boleh dipelihara, diperjualbelikan, bahkan satu helai bulu pun tak boleh diambil dari alam,” tegas Ani dalam keterangan tertulis, Rabu (14/5/2025).

Cenderawasih kuning-besar jantan dikenal dengan tampilan mencolok dan bulu yang memikat, sementara betinanya cenderung sederhana, mirip burung gagak dengan nuansa kemerahan. Burung ini hidup di pedalaman hutan Papua.

Nama ilmiahnya, Paradisaea apoda, berasal dari kesalahpahaman masa lalu. Ketika pertama kali dibawa ke Eropa dalam bentuk awetan tanpa kaki, orang Eropa mengira burung ini memang tidak berkaki—maka lahirlah sebutan “burung surga tanpa kaki”.

Ani mencatat bahwa eksploitasi burung ini sudah terjadi sejak lama.

Berdasarkan data IPB pada tahun 2012, antara tahun 1904 hingga 1908 saja, sebanyak 155.000 ekor cenderawasih dikirim ke London dan sekitar 1,2 juta ekor ke Prancis.

WWF Papua juga mencatat bahwa pada dekade 1900-an hingga 1930-an, perdagangan burung ini mencapai 30.000 ekor per tahun.

Pada 1912, satu pengiriman ke Jerman dan Inggris bahkan mencapai 30.000 ekor—hanya untuk kebutuhan fesyen bangsawan Eropa.

“Pada masa itu, burung ini menjadi terkenal karena sering dijadikan hiasan di kepala para perempuan bangsawan di Eropa,” ungkap Ani.

Meski kini berstatus dilindungi, permintaan terhadap cenderawasih kini tetap tinggi. Kurangnya penelitian, lemahnya pengawasan, dan klaim atas warisan budaya menjadi tantangan utama dalam upaya pelestarian.

“Kalau memang untuk ritual adat dan jumlahnya sangat terbatas, itu bisa dimaklumi. Tapi yang tidak bisa diterima adalah ketika cenderawasih ini diperjualbelikan atau dijadikan cenderamata secara massal,” ujarnya.

Sebagai solusi, Ani mendorong pendekatan yang lebih bijak terhadap pelestarian budaya. Ia mencontohkan komunitas di Kalimantan yang mulai beralih ke bulu sintetis untuk menggantikan bulu rangkong dalam upacara adat.

“Itu bisa jadi contoh untuk komunitas lainnya,” tutup Ani.

KUBET – Kanselir Jerman Desak Uni Eropa Cabut Aturan Keberlanjutan CSDDD

Kanselir Jerman, Friedrich Merz

Lihat Foto

Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD), aturan yang mewajibkan perusahaan menangani dampak negatif praktik industri pada hak asasi manusia dan lingkungan dalam seluruh rantai pasok mereka.

Permintaan ini disampaikan Merz dalam konferensi pers bersama Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, dalam kunjungan perdananya ke Brussels sebagai kanselir. Seruan ini juga menandai langkah awal dari agenda yang lebih luas, mengurangi beban regulasi dan kepatuhan bagi pelaku usaha.

Pernyataan Merz muncul tak lama setelah kesepakatan untuk membentuk pemerintahan baru di Jerman pada April, yang mencantumkan pencabutan Supply Chain Act (LkSG), UU nasional Jerman mengenai uji tuntas rantai pasok dalam aspek lingkungan dan HAM. Sebagai gantinya, Jerman akan mengandalkan regulasi serupa di tingkat Uni Eropa, yaitu CSDDD.

“Kami akan mencabut undang-undang nasional di Jerman, dan saya juga berharap Uni Eropa melakukan hal yang sama dan benar-benar membatalkan arahan ini,” ujar Merz.

CSDDD adalah arahan hukum Uni Eropa yang mewajibkan perusahaan untuk:

  • Mengidentifikasi, menilai, mencegah, mengurangi, menangani, dan memperbaiki dampak negatif terhadap manusia dan lingkungan,
  • Menyasar isu seperti pekerja anak, perbudakan, polusi, emisi karbon, deforestasi, dan kerusakan ekosistem,
  • Berlaku pada rantai pasok hulu dan sebagian kegiatan hilir seperti distribusi dan daur ulang.

Arahan ini diadopsi pada Mei 2024 setelah proses legislasi yang panjang. Proses tersebut menghasilkan sejumlah revisi, termasuk mengurangi jumlah perusahaan yang tercakup dan memperpanjang waktu transisi penerapan.

Pada Februari 2025, Komisi Eropa mengajukan amandemen terhadap CSDDD sebagai bagian dari inisiatif omnibus yang bertujuan menyederhanakan kewajiban kepatuhan dan pelaporan ESG.

Beberapa poin penting usulan tersebut meliputi:

  • Kewajiban uji tuntas hanya untuk mitra bisnis langsung, kecuali jika perusahaan memiliki informasi yang masuk akal tentang potensi dampak lebih jauh di rantai pasok,
  • Frekuensi pemantauan efektivitas uji tuntas dikurangi dari setiap tahun menjadi lima tahun sekali,
  • Batasan permintaan informasi kepada perusahaan kecil dalam rantai pasok.

Baru-baru ini, parlemen Uni Eropa sepakat untuk menunda penerapan CSDDD selama satu tahun hingga 2028, sambil menunggu hasil revisi omnibus.

Meski menyambut baik penundaan tersebut sebagai “langkah pertama”, Merz menegaskan bahwa pencabutan total terhadap sejumlah regulasi keberlanjutan adalah langkah logis selanjutnya.

Pernyataan Merz mencerminkan ketegangan yang makin nyata antara ambisi keberlanjutan global dan kekhawatiran dunia usaha terhadap biaya dan kompleksitas regulasi. Di tengah meningkatnya tuntutan ESG, banyak perusahaan mengeluhkan ketidakpastian hukum, beban administratif, dan tantangan dalam mengelola rantai pasok yang kompleks dan lintas negara.

Seruan untuk mencabut CSDDD dapat memperkuat perdebatan di antara negara-negara anggota Uni Eropa mengenai masa depan regulasi keberlanjutan, terutama di tengah kebutuhan mendesak untuk menjaga daya saing bisnis Eropa secara global.

KUBET – BRIN Teliti Daun Kelor untuk Cegah Balita Stunting

Dua anak kembar stunting yang mendapatkan bantuan gizi, Senin (5/5/2025)

Lihat Foto

daun kelor untuk mencegah stunting pada balita di Gunungkidul, Yogyakarta.

Peneliti Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan BRIN, Dini Ariani, mengatakan sebanyak 33 balita usia 1-4 tahun dengan stunting menerima pemberian makanan tambahan (PMT) selama tiga bulan.

PMT berupa makanan yang mengandung daun kelor berbentuk kudapan seperti nugget ayam tempe, sempol, bakso, dimsum, sosis, dan bolu kukus.

“Hasilnya cukup menggembirakan. Sebanyak 44,83 persen balita mengalami peningkatan kadar hemoglobin dan 68,97 persen sudah mencapai kadar Hb normal,” kata Dini dalam keterangannya, Rabu (14/5/2025).

“Di samping itu juga terjadi perbaikan status gizi balita berdasarkan berat badan per tinggi badan,” imbuh dia.

Kendati dampak mengonsumsi daun kelor terhadap status gizi berdasarkan indikator berat badan atau panjang badan belum signifikan, hasil itu membuka jalan untuk intervensi jangka panjang.

Dini menyatakan bahwa tantangan terbesar bukan hanya pada formula makanan, tetapi bagaimana memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang manfaat dari bahan pangan lokal.

“Kolaborasi riset menjadi kekuatan utama dalam mengubah potensi lokal menjadi solusi kesehatan yang berdampak luas,” tutur Dini.

Menurut dia, penelitian ini turut menguatkan kemandirian masyarakat dalam pengelolaan gizi berbasis bahan lokal. Proses edukasi dan pendampingan dilakukan seiring dengan pelatihan kepada ibu-ibu yang memasak serta kader posyandu untuk mengolah daun kelor menjadi panganan yang lezat.

“Kami berharap riset ini bisa direplikasi di wilayah lain, tentunya dengan adaptasi sesuai potensi dan kearifan pangan lokal masing-masing daerah,” jelas Dini.

Sementara itu, Ketua Ikatan Dokter Indonesia Gunungkidul, Diah Prasetyorini, menyatakan pendekatan BRIN bersama sejumlah instansi lainnya bisa menjadi model nasional dalam penanganan stunting.

“Kami melihat betul bagaimana riset ini bukan hanya bicara data, tetapi juga transformasi sosial di tingkat akar rumput. Para ibu terlibat aktif, puskesmas mendampingi, dan BRIN mengawal proses ilmiahnya,” ungkap Diah.

KUBET – Kolaborasi Antar-Organisasi Dibentuk untuk Efektifkan Konservasi Laut

acara Sosialisasi Visi MPA dan OECM 2045 di Bogor Rabu (14/5/2025)

Lihat Foto

Konservasi Perairan dan Forum Nasional MPA-OECM.

Inisiatif ini diluncurkan pada acara Sosialisasi Visi MPA dan OECM 2045 di Bogor Rabu (14/5/2025), sebagai bagian dari strategi mencapai target konservasi laut nasional seluas 30 persen.

Komite ini merupakan wadah koordinasi lintas aktor untuk memperkuat efektivitas pengelolaan kawasan konservasi yang memberikan manfaat konservasi keanekaragaman hayati jangka panjang dan efektif.

Melalui forum ini, dibentuk kolaborasi antarorganisasi seperti WWF Indonesia, Coral Triangle Center, RARE Indonesia, Konservasi Indonesia, Pesisir Lestari, dan Rekam Nusantara dipayungi dalam satu platform koordinasi yang didukung oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).

Fokus utamanya adalah memperbaiki tata kelola kawasan laut, memperkuat perlindungan biodiversitas, dan mengintegrasikan nilai sosial serta pengetahuan lokal ke dalam strategi konservasi.

“Simposium ini menjadi ruang untuk membuka data, berbagi praktik, dan memperluas partisipasi multipihak,” kata Imam Musthofa Zainuddin dari WWF Indonesia pada Rabu (14/5/2025)

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya forum terbuka sebagai landasan pengambilan keputusan tata kelola yang memberikan dampak yang berkelanjutan.

Pentingnya pendekatan non-formal seperti OECM juga disorot. Menurut Hari Kushardanto dari RARE Indonesia, masih banyak wilayah yang bernilai konservasi tinggi tetapi belum masuk ke dalam sistem kawasan lindung formal yang bisa berkontribusi untuk memenuhi target 30 persen.

Pendekatan OECM dinilai mampu mengakomodasi model konservasi berbasis komunitas yang selama ini dijalankan masyarakat, termasuk wilayah adat.

Sementara itu, Dina D. Kosasih dari Pesisir Lestari mengingatkan bahwa keberhasilan jangka panjang konservasi sangat bergantung pada keterlibatan masyarakat lokal secara langsung.

 

Ia menekankan perlunya pengakuan terhadap lembaga adat dan kelompok lokal dalam struktur pengelolaan kawasan.

Forum Nasional MPA-OECM akan mengadakan pertemuan rutin dan diskusi tematik untuk memperkuat jejaring konservasi, dengan prinsip transparansi, keterwakilan, dan partisipasi yang merata di seluruh wilayah Indonesia.

Inisiatif ini mencoba membangun sistem konservasi laut yang lebih adaptif, inklusif, dan relevan dengan konteks sosial-ekologis di lapangan.

KUBET – Tersangka Perambahan Hutan di Dumai Dituntut 4 Tahun Penjara

Terdakwa kasus perambahan  Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Bagan Besar di Kota Dumai, Riau

Lihat Foto

Ia didakwa setelah merambah Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Bagan Besar di Kota Dumai, Riau, dengan menggunakan alat berat.

Persidangan berlangsung di Pengadilan Negeri Dumai, menyusul pelimpahan berkas dari Kejaksaan Tinggi Riau.

Kasus ini terungkap saat operasi pengamanan unit Alat Berat jenis Excavato di hutan oleh Balai Gakkum Kehutanan Sumatera Seksi II Pekanbaru pada 23 September 2024.

Tim mengamankan satu unit alat berat jenis excavator yang di duga digunakan untuk membuat parit dan pembersihan lahan di dalam kawasan hutan. Ketika alat berat tersebut digeser keluar kawasan, tim menemukan NHP (55) yang mengaku sebagai pengelola lahan. Ia langsung diamankan dan diperiksa lebih lanjut.

Tersangka dijerat UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang telah diubah oleh UU Cipta Kerja, serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang juga telah diubah oleh UU No. 6 Tahun 2023. Sementara satu unit excavator sebagai barang bukti telah disita untuk negara dalam persidangan yang digelar pada 28 April 2025.

Kepala Balai Gakkum Kehutanan Sumatera, Hari Novianto, menyatakan pihaknya akan terus menindak tegas pelaku kejahatan dan perusakan hutan.

“Mereka yang mendapatkan keuntungan dengan merusak hutan, mengorbankan masyarakat, dan merugikan negara tidak boleh dibiarkan. Harus dihukum maksimal agar ada efek jera,” ujarnya, sebagaimana dikutip dari keterangan resminya pada Senin (12/05/2025)

KUBET – Hanya 11 Persen Negara Umumkan Target Iklim Terbaru Jelang COP30

Ilustrasi perubahan iklim

Lihat Foto

target iklim terbaru berdasarkan Perjanjian Paris.

Hal ini mengindikasikan adanya potensi kelambatan dalam aksi global untuk mengatasi perubahan iklim sesuai dengan kerangka kerja yang telah disepakati.

Keterlambatan ini menjadi perhatian karena pembaruan target iklim seharusnya diserahkan pada awal tahun 2025 untuk dievaluasi sebelum konferensi COP30.

Sebagai informasi, mekanisme penting dalam Perjanjian Paris adalah, setiap negara yang tergabung diminta menyusun rencana aksi iklim nasional (NDC).

Tujuan utama dari NDC ini adalah untuk menahan laju pemanasan global, dengan target utama membatasi kenaikan suhu di bawah 2 derajat C dan berupaya keras untuk mencapai batas yang lebih aman, yaitu 1,5 derajat C di atas tingkat suhu sebelum dimulainya revolusi industri.

Para pihak dalam Perjanjian Paris harus menyerahkan NDC terbaru mereka untuk tahun 2035 paling lambat tanggal 10 Februari 2025.

Namun hanya 15 dari 195 pihak yang memenuhi tenggat waktu tersebut.

Sementara pada bulan Mei, jumlah negara yang menyerahkan pembaruan NDC mencapai 21.

Ini termasuk Zambia, Kuba, Maladewa, Montenegro, Jepang, Kanada, Kepulauan Marshall, Singapura, Zimbabwe, Ekuador, Saint Lucia, Andorra, Selandia Baru, Inggris Raya, Swiss, Uruguay, Brasil, Kenya, Moldova, dan Uni Emirat Arab.

AS mengumumkan penarikannya dari Perjanjian Paris setelah Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif awal tahun ini.

Sedangkan hanya enam bulan tersisa sebelum para delegasi bertemu di Brasil untuk Konferensi Perubahan Iklim PBB 2025 (UNFCCC COP30).

“Kita benar-benar perlu melihat negara-negara menyerahkan target iklim terbaru mereka. Target-target ini menunjukkan apakah para pemimpin dunia serius atau tidak dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, yang sudah menimbulkan malapetaka di seluruh dunia,” kata Camilla More, peneliti diplomasi iklim di IIED, dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Down to Earth, Senin (12/5/2025).

Lebih lanjut, Climate Action Tracker, sebuah penilaian independen berbasis sains yang melacak komitmen dan tindakan emisi negara-negara, meneliti 20 negara yang telah menyerahkan NDC mereka. Dari jumlah tersebut, mereka menganalisis 10 di antaranya.

Analisis menunjukkan bahwa hanya NDC Inggris Raya yang kompatibel dengan target 1,5 derajat C.

Meskipun target utama mereka dianggap ambisius, namun menurut Climate Analytics, target tersebut belum memenuhi bagian kontribusi yang adil dari Inggris Raya.

Lembaga tersebut merekomendasikan peningkatan pendanaan iklim untuk negara berkembang. Selain itu, target iklim Inggris Raya untuk tahun 2030 dinilai tidak cukup ambisius dan tidak sejalan dengan tujuan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius.

Inggris juga berencana untuk menginvestasikan hampir 22 miliar poundsterling dalam penangkapan dan penyimpanan karbon.

Akan tetapi Mark Maslin, Profesor Ilmu Pengetahuan Alam dari University College London mengatakan ketergantungan pada teknologi ini dapat menghambat transisi menuju energi bersih dan memperpanjang ketergantungan pada bahan bakar fosil.

“Setiap tahun, biaya krisis iklim terus meningkat. Kita perlu melihat tindakan yang berani dan ambisius untuk memangkas emisi dan mendukung masyarakat beradaptasi dengan realitas baru serta mengatasi dampak yang tak terhindarkan. Kita tidak bisa membiarkan populisme jangka pendek bertindak sebagai rem pada aksi iklim,” tambah More.