
Ekonomi (OECD) menyebut kekeringan telah meningkat tajam. Imbasnya, biaya ekonomi akibat kekeringan diproyeksikan meningkat signifikan dalam dekade mendatang.
Rata-rata kekeringan pada tahun 2035 diperkirakan akan menelan biaya setidaknya 35 persen lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi saat ini.
Sementara itu, mengutip Down to Earth, Senin (7/7/2025) secara global, kerugian dan kerusakan ekonomi akibat kekeringan meningkat pada tingkat tahunan sebesar 3-7,5 persen.
Sektor yang paling terdampak adalah pertanian. Akibat kekeringan, hasil panen bisa menurun hingga 22 persen di tahun-tahun yang sangat kering.
Laporan berjudul OECD Global Drought Outlook: Trends, Impacts and Policies to Adapt to a Drier World tersebut mengevaluasi risiko kekeringan saat ini dan di masa depan, dampaknya terhadap ekosistem, perekonomian, dan masyarakat, serta menguraikan respons kebijakan untuk beradaptasi dan meningkatkan ketahanan.
Dalam analisis tersebut terungkap bahwa 40 persen dari planet ini telah mengalami kekeringan yang lebih sering dan intens dalam beberapa dekade terakhir akibat perubahan iklim dan aktivitas manusia.
Pada tahun 2023, hampir setengah (48 persen) dari luas daratan global mengalami setidaknya satu bulan kekeringan ekstrem, tingkat kekeringan terbesar kedua yang diamati sejak tahun 1951.
Titik panas dengan peningkatan frekuensi dan intensitas kekeringan meliputi Amerika Serikat bagian barat, Amerika Selatan, Eropa selatan dan timur, Australia selatan, Afrika utara dan selatan, dan Rusia.
Kekeringan pun menyebabkan kerugian produktivitas pertanian, perdagangan, industri, dan produksi energi.
Lebih lanjut, analisis OECD kemudian menemukan pula kejadian kekeringan ini tak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga lingkungan dan sosial.
Sejak tahun 1980, sebanyak 37 persen daratan global telah mengalami kehilangan kelembaban tanah yang signifikan.
Demikian pula, tingkat air tanah menurun secara global, dengan 62 persen akuifer yang dipantau mengalami penurunan, sementara banyak sungai di seluruh dunia mengalami penurunan aliran sungai yang signifikan.
Perubahan ketersediaan air ini mempercepat degradasi tanah dan berdampak negatif pada ekosistem seperti hutan dan lahan basah, yang memengaruhi biomassa dan distribusi tanaman.
Hal ini mengancam keanekaragaman hayati dan mengganggu layanan ekosistem penting, termasuk pemurnian air dan penyerapan karbon, yang memperburuk risiko kekeringan di masa mendatang.
Kekeringan juga bertanggung jawab atas 34 persen kematian terkait bencana dan memperburuk kemiskinan, ketidaksetaraan, dan pengungsian, terutama di Afrika sub-Sahara.
Laporan ini pun mendesak negara-negara untuk mengadopsi strategi proaktif dan terpadu untuk meningkatkan ketahanan dan mendukung adaptasi di dunia yang lebih kering.
Penerapan solusi yang ada secara lebih luas diperlukan untuk mencapai dampak di seluruh sistem. Misalnya saja inovasi dalam penggunaan air, termasuk melalui daur ulang dan pemanenan air, dapat secara signifikan mengurangi pengambilan air oleh industri dan manufaktur.
Budidaya tanaman yang tahan kekeringan juga dapat ditingkatkan melalui insentif dan penyelarasan langkah-langkah regulasi, dan sistem irigasi yang lebih efisien dapat secara signifikan mengurangi penggunaan air global.
Selain itu penggunaan lahan berkelanjutan dan pengelolaan ekosistem juga memainkan peran penting dalam memperkuat ketahanan alami terhadap kekeringan dan menjaga layanan ekosistem penting terkait air.