
Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).
Satgas mencatat, dari luas kawasan hutan TNTN pada 2014 yang mencapai 81.793 hektar, kini hanya tersisa sekitar 12.561 hektar atau 15 persen saja.
Artinya, sekitar 69.000 hektar hutan telah hilang, dan sekitar 40.000 hektar di antaranya berubah menjadi perkebunan kelapa sawit (Kompas.com, 20 Juni 2025).
Temuan Satgas juga menunjukkan indikasi serius, yakni terbitnya sejumlah Sertifikat Hak Milik (SHM) di wilayah yang seharusnya menjadi kawasan konservasi TNTN.
Dugaan sementara, penerbitan sertifikat itu tidak lepas dari praktik korupsi. Tak hanya itu, warga di kawasan TNTN didapati memegang Surat Keterangan Tanah (SKT) serta KTP palsu.
Bahkan di dalam kawasan sudah berdiri infrastruktur resmi seperti tiang listrik, sekolah, hingga rumah ibadah.
Kondisi ini sungguh ironis. TNTN adalah benteng terakhir bagi keberlangsungan biodiversitas hutan hujan tropis Sumatera, habitat penting satwa liar langka seperti harimau sumatera dan gajah sumatera.
Menurut regulasi, kawasan taman nasional sama sekali tidak boleh dialihfungsikan untuk produksi maupun permukiman. Namun faktanya, hukum sering tidak cukup kuat melawan derasnya kepentingan ekonomi dan kekuasaan.
Kasus Tesso Nilo sebetulnya hanya potret kecil dari fenomena yang jauh lebih besar. Di banyak kawasan konservasi dan lindung, polanya selalu serupa: hutan diambil alih, dijadikan kebun sawit atau pertanian, didukung dokumen tanah palsu, lalu masuk perusahaan besar yang membeli lahan ilegal, menciptakan konflik sosial-ekonomi, dan memunculkan konflik dengan satwa liar.
Ujungnya, penegakan hukum lemah dan upaya rehabilitasi tersendat karena politik lokal, keterbatasan sumber daya, dan lemahnya pengawasan.
Lebih menyedihkan lagi, tidak semua perusakan kawasan hutan berjalan lewat jalur ilegal. Banyak yang justru legal melalui izin resmi.
Aktivitas pertambangan, misalnya, diperbolehkan dalam kawasan hutan produksi maupun di kawasan hutan lindung secara terbatas melalui metode bawah tanah.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, kemudian UU No 41 Tahun 1999, hingga UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja membuka celah regulasi tersebut.
Pasal 38 UU No 41/1999 menegaskan bahwa pembangunan di luar fungsi kehutanan — termasuk tambang, jaringan listrik, hingga sarana pertahanan — tetap diperbolehkan lewat izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang dikeluarkan pemerintah.
Sayangnya, celah ini sering dimanfaatkan tanpa pengendalian. Pemerintah sebenarnya wajib menetapkan batas minimal luas kawasan hutan per provinsi atau DAS (daerah aliran sungai), sebagaimana diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2021 turunan UU Cipta Kerja.