
“Berdasarkan keterangan dari ATR BPN, memang itu sah punya sertifikat,” kata Direktur Pencegahan dan Penanganan Pengaduan Kehutanan Kemenhut RI Yazid Nurhuda di Kabupaten Tanah Datar, Rabu (25/6/2025).
Hal tersebut disampaikan Yazid Nurhuda di sela-sela penutupan dan penyegelan aktivitas ilegal di sepanjang kawasan TWA Megamendung. Sebelum dan saat eksekusi dilakukan, masyarakat bersama Wali Nagari dan tokoh adat setempat sempat menolak keras. Namun, setelah adanya negosiasi hal itu kembali dilanjutkan.
Yazid menjelaskan kalaupun keabsahan sertifikat itu diteliti dan terbitnya lebih dulu dari penetapan kawasan hutan tersebut, maka sertifikatnya menjadi hak pengelolaan atau HPL.
Akan tetapi, kalau tanah yang bersertifikat itu berada di dalam kawasan hutan atau setelah ditetapkan menjadi kawasan hutan, maka penerbitan sertifikat itu tidak boleh.
“Jadi sertifikat itu muncul dan diberikan pada waktu pemerintah Hindia Belanda. Itu info yang saya tahu,” ucap dia seperti dikutip Antara.
Meskipun demikian, Yazid juga mendorong agar pihak lainnya atau orang yang merasa keberatan untuk mengecek runut waktu penerbitan sertifikat tanah di sekitar kawasan TWA Megamendung ke ATR BPN Kabupaten Tanah Datar.
Sementara itu, tokoh adat Nagari (desa) Singgalang, Kabupaten Tanah Datar Yunelson Datuak Tumangguang membantah penjelasan Kemenhut soal sertifikat tanah di sekitar kawasan TWA Megamendung, Kabupaten Tanah Datar.
“Apa yang disampaikan bapak-bapak tadi itu banyak kebohongan. Masa hutan disertifikat pemerintah tidak tahu,” kata dia.
Pada kesempatan itu, Datuak Tumangguang bersikukuh bahwa kawasan pemandian yang berada di dalam TWA Megamendung merupakan tanah ulayat masyarakat adat.
Ia berharap pemerintah terutama Kemenhut bersama BKSDA, pemerintah provinsi dan daerah lebih bijak dalam mencarikan solusi agar kebijakan yang dilakukan tidak merugikan masyarakat setempat.