KUBET – Narasi Hijau Palsu: Dampak Nyata Tambang Nikel di Balik Mobil Listrik

Limbah nikel di sebuah kawasan tambang di Konawe Utara mencemari laut.

Lihat Foto

Namun, di balik kendaraan senyap dan bersih itu, ada cerita yang bising dan penuh luka: tambang nikel yang merusak lingkungan dan meminggirkan masyarakat lokal di berbagai kawasan Indonesia timur.

Fenomena ini patut dipertanyakan: apakah kita sedang menyaksikan kemajuan teknologi, atau justru greenwashing berskala global?

Mobil listrik: Hijau di jalan, kelabu di hulu

Tidak diragukan, mobil listrik memang menghasilkan emisi jauh lebih rendah dibanding kendaraan berbahan bakar fosil.

Namun, agar bisa beroperasi, mobil ini membutuhkan baterai lithium-ion yang mengandung logam kritis, termasuk nikel dalam jumlah besar.

 

Indonesia, sebagai pemilik cadangan nikel laterit terbesar di dunia, menjadi incaran utama investasi tambang dan smelter nikel dalam dekade terakhir.

Sayangnya, pertambangan nikel di Indonesia khususnya di kawasan timur seperti Pulau Obi, Halmahera, dan belakangan Raja Ampat di Papua Barat Daya sering berlangsung dengan mengabaikan prinsip keberlanjutan.

Deforestasi masif, sedimentasi laut, pencemaran sungai, dan hilangnya wilayah adat terjadi di banyak konsesi tambang.

Masyarakat lokal, terutama nelayan dan suku adat, kerap tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, apalagi memperoleh manfaat ekonomi yang adil.

Inilah yang disebut sebagai greenwashing, strategi menampilkan aktivitas atau produk seolah-olah ramah lingkungan, padahal kenyataannya merusak.

Dalam konteks ini, industri nikel diselimuti narasi “untuk masa depan hijau”, “mendukung transisi energi global”, dan “mengurangi emisi dunia”.

Narasi ini digaungkan oleh perusahaan, negara, bahkan konsumen di belahan dunia utara yang membeli mobil listrik tanpa mengetahui jejak ekologis di balik baterainya.

Bentuk greenwashing ini semakin jelas ketika tambang-tambang yang menimbulkan kerusakan justru dijustifikasi sebagai “kontribusi terhadap mitigasi perubahan iklim”.

Padahal, emisi karbon yang ditekan di kota-kota maju justru digantikan oleh emisi dan degradasi lingkungan di wilayah tambang, yang ironisnya, justru berada di kawasan yang kaya keanekaragaman hayati dan budaya adat.

Luka di wilayah tambang

Direksi PT Gag Nikel, Aji Priyo Anggoro mengambil gambar di lokasi terbuka penambangan yang sementara berhenti beroperasi di Pulau Gag Distrik Waigeo Barat Kepulauan Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Minggu (8/6/2025). PT Gag Nikel memastikan bahwa operasional pertambangan dijalankan sesuai prinsip pertambangan berkelanjutan dan kaidah lingkungan hidup yang berlaku dengan melakukan upaya reklamasi pasca penambangan serta pengolahan limbah yang telah melalui uji baku mutu sehingga tidak menimbulkan dampak ekologis.ANTARA FOTO/Olha Mulalinda Direksi PT Gag Nikel, Aji Priyo Anggoro mengambil gambar di lokasi terbuka penambangan yang sementara berhenti beroperasi di Pulau Gag Distrik Waigeo Barat Kepulauan Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Minggu (8/6/2025). PT Gag Nikel memastikan bahwa operasional pertambangan dijalankan sesuai prinsip pertambangan berkelanjutan dan kaidah lingkungan hidup yang berlaku dengan melakukan upaya reklamasi pasca penambangan serta pengolahan limbah yang telah melalui uji baku mutu sehingga tidak menimbulkan dampak ekologis.

Kasus di Raja Ampat menjadi sorotan baru-baru ini. Kawasan yang dikenal dunia karena keindahan laut dan terumbu karangnya kini terancam oleh ekspansi tambang nikel.

Posted in Tak Berkategori

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *