
“Buku ini kami susun sebagai bentuk dukungan terhadap pembangunan berbasis lingkungan dan sebagai panduan spiritual dalam merespons krisis iklim dan kerusakan hutan,” kata Fasilitator Nasional IRI Indonesia Hayu Prabowo dalam kegiatan pembekalan ilmiah pemuka agama dan komunitas keagamaan di Jakarta, Rabu (11/6/2025).
Kegiatan tersebut diikuti 450 pemuka agama dari berbagai wilayah di Indonesia yang difasilitasi Kementerian Kehutanan (Kemhut), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geogfisika (BMKG), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan CIFOR-ICRAF.
Hayu mengatakan, rumah ibadah dan masyarakat di sekitarnya tidak terlepas dari dampak bencana ekologis, seperti masjid-masjid di kawasan pesisir Jakarta Utara yang terendam banjir rob, serta rumah ibadah lainnya di bagian utara Pulau Jawa yang juga terdampak krisis iklim.
“Kalau kondisi ini berlanjut, akan muncul gelombang pengungsi iklim atau climate refugee. Ini bukan sekadar narasi, tapi ancaman nyata,” ujarnya.
Menurut dia, sedikitnya lima tantangan utama tengah dihadapi dunia, termasuk Indonesia, yaitu cuaca ekstrem, krisis sistem bumi, keruntuhan keanekaragaman hayati, pemanasan global, dan kelangkaan sumber daya alam.
Dalam paparannya ia mengutip data Global Forest Watch yang mencatat Indonesia kehilangan sekitar 10,5 juta hektare hutan tropis primer dalam periode 2002–2023, atau sekitar 11 persen dari total luas hutan pada 2001.
Oleh karena itu, Hayu menekankan pentingnya inisiatif lintas iman untuk menjaga kelestarian hutan, mengingat hilangnya pohon akibat aktivitas manusia meningkatkan risiko bencana dengan dampak sosial dan ekonomi yang besar.
“Poin-poin itu dimuat dalam buku yang kami buat untuk rumah ibadah ini. Memfokuskan kalau hutan tropis adalah paru-paru dunia sekaligus penopang hidup jutaan orang. Ketika hutan hilang, maka air bersih, pangan ikut terancam,” katanya.
Kementerian Kehutanan menyatakan dukungan terhadap inisiatif organisasi keagamaan dalam upaya menjaga kelestarian hutan dan menanggulangi krisis iklim.
“Inisiatif ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan,” kata Kepala Pusat Pengembangan Mitigasi dan Adaptasi Bencana Hidrometeorologi Kemenhut, Wening Sri Wulandari.
Kemhut sendiri menargetkan untuk merehabilitasi lahan kritis seluas 12,7 juta hektare sampai tahun 2029 melalui kolaborasi dengan masyarakat dengan tujuan mengembalikan fungsi ekosistem hutan dan menciptakan peluang kerja hijau di tingkat lokal