
Uni Eropa atau The European Union Deforestation Regulation atau EUDR dapat mendorong agenda keberlanjutan.
Kepala Pusat Riset Politik (PRP) BRIN, Athiqah Nur Alami, mengatakan EUDR juga berpeluang memperkuat tata kelola sektor komoditas di Indonesia yang selama ini dinilai sarat konflik, kolusi bisnis politik, serta merugikan masyarakat adat.
Dia menjelaskan, aturan terbaru Uni Eropa itu bertujuan mengurangi deforestasi akibat konsumsi komoditas global.
Regulasi tersebut mewajibkan tujuh komoditas utama termasuk sawit dan karet bebas deforestasi serta legal secara hukum di negara asalnya.
“Regulasi ini memicu perdebatan hangat, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang merupakan eksportir utama minyak sawit,” ungkap Athiqah dalam keterangannya, Senin (2/6/2025).
EUDR merupakan kebijakan Uni Eropa yang disahkan pada 2023. Kebijakan ini bertujuan mencegah komoditas seperti sawit, kopi, kakao, dan daging sapi yang menyebabkan deforestasi masuk ke pasar Eropa.
Menurut dia, beberapa pihak menganggap EUDR sebagai bentuk baru imperialisme Eropa atau neokolonialisme. Sebab, aturannya memberatkan petani kecil hingga membatasi akses mereka ke pasar global.
Di sisi lain, peneliti dari Universitas dan Riset Wageningen Belanda, Iris Eukema, menyampaikan batas implementasi penuh ditetapkannya EUDR dimulai pada Desember 2025. Hal ini menyebabkan waktu persiapan yang terbatas bagi petani maupun pengusaha sawit.
“Ini tantangan besar yang dihadapi Indonesia, terutama petani kecil yang kerap tidak memiliki hak atas tanah resmi, tidak tersertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan kesulitan menyediakan data geolokasi,” sebut dia.
Iris turut menyoroti rantai pasok yang panjang dan kompleks yang membuat penerapan prinsip ketertelusuran semakin rumit. Perbandingan negara EUDR menuai kritik lantaran berpotensi mendiskreditkan reputasi Indonesia berisiko tinggi, dengan konsekuensi pemeriksaan yang lebih ketat.
Karenanya, dia mengusulkan agar pemerintah melihat EUDR sebagai bentuk imperialisme modern dan diskriminasi terhadap minyak sawit.
“Mereka menilai EUDR cenderung sepihak dan kurang menghargai upaya yang telah dilakukan Indonesia dalam mengurangi deforestasi. Ketidakjelasan bahasa regulasi dan perbedaan definisi hutan antara Indonesia dan Uni Eropa juga menambah kebingungan,” papar Iris.
Kendati diwarnai kontroversi, dia mencatat adanya potensi aturan baru Uni Eropa itu sebagai panggilan yang mendorong pemerintah Indonesia mempercepat berbagai penyelarasan data kehutanan.
Ini termasuk kebijakan satu peta, memperkuat sertifikasi ISPO, serta meningkatkan perlindungan hutan.
“Risiko besar tetap mengancam, termasuk potensi pengucilan petani kecil dari rantai pasok ke pasar Eropa,” jelas Iris.
Sejauh ini, lanjut dia, sosialisasi EUDR masih minim di kalangan petani kecil maupun masyarakat. Bahkan, di tingkat akademisi pemahaman terhadap regulasi masih terbatas. Iris berkata, sejumlah pengusaha besar mengaku siap menghadapi regulasi EUDR kendati mereka masih mempertanyakan implementasi kebijakan.
“Namun, mereka menilai hilangnya pasar Eropa bukanlah bencana besar, karena pangsa pasarnya hanya sekitar 10 persen dari total ekspor,” ucap dia.