KUBET – China Ingkar Janji, Masih Danai 88 Persen Proyek Batu Bara BRICS

Ilustrasi PLTU Batu bara

Lihat Foto

batu bara baru di negara-negara BRICS, meski sudah berjanji pada tahun 2021 untuk menghentikan pembiayaan itu di luar negeri.

Hal itu terungkap dalam analisis investasi energi di negara-negara BRICS yang dirilis think tank Gloal Energy Monitor (GEM) pada Selasa (29/4/2025).

GEM menyebut bahwa Tiongkok terlibat dalam pembangunan proyek batu bara baru sebesar 7,7 Gigawatt, sebagian besar digunakan untuk menjalankan smelter nikel di Indonesia.

Blok BRICS didirikan oleh Brasil, Rusia, India, dan Tiongkok pada 2009 dan sejak itu telah memperluas keanggotaan dan kemitraannya hingga mencakup sekitar seperempat ekonomi global yang menyumbang setengah emisi karbon dioksida perubahan iklim.

Meskipun penerapan energi terbarukan secara cepat di Brasil, India, dan Tiongkok membuat energi terbarukan menyumbang lebih dari separuh bauran listrik total BRICS tahun lalu, 10 anggota dan mitra terbaru — termasuk Nigeria, Kazakhstan, serta Indonesia — masih bergantung pada bahan bakar fosil untuk memenuhi permintaan energi yang meningkat, sering kali dengan dukungan dari Tiongkok.

“Ada risiko nyata bahwa investasi batu bara, gas, dan minyak akan menjerumuskan negara-negara ini ke arah yang salah,” kata James Norman, manajer proyek Global Integrated Power Tracker dari GEM, seperti dikutip Reuters, Kamis (1/5/2025).

Data GEM menunjukkan bahwa kesepuluh negara tersebut sedang membangun kapasitas pembangkit listrik dari batu bara, minyak, dan gas sebesar 25 GW, sementara untuk surya dan angin hanya 2,3 GW. Ada 63 GW kapasitas pembangkit listrik tenaga gas yang sedang dikembangkan.

GEM menyatakan bahwa 62 persen dari kapasitas pembangkit listrik yang sedang dibangun di sepuluh negara tersebut bergantung pada badan usaha milik negara Tiongkok untuk pembiayaan, pengadaan, rekayasa, atau konstruksi. Tiongkok mendukung 88 persen dari seluruh pembangkit listrik batu bara baru yang sedang dibangun.

Kementerian Lingkungan Hidup Tiongkok belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar.

Presiden Xi Jinping menyatakan pada 2021 bahwa Tiongkok tidak akan lagi membantu membangun atau membiayai pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri, namun setidaknya 26,2 GW kapasitas baru yang didukung Tiongkok telah dibangun sejak janji tersebut dibuat.

Perubahan iklim akan menjadi topik utama dalam pertemuan para pemimpin BRICS di Brasil pada bulan Juni. Banyak yang menyerukan perlunya Tiongkok dan negara lainnya untuk membuat komitmen yang lebih ambisius dalam mengurangi emisi menjelang KTT Iklim COP 30 pada bulan November.

KUBET – Krisis Iklim Merenggut Kesempatan Anak untuk Bersekolah

Ilustrasi banjir

Lihat Foto

Konsekuensi yang dimaksud adalah dampak atau pengaruh dari siklon tropis (badai tropis) pada kesempatan untuk bersekolah dan pendidikan secara keseluruhan di negara-negara yang memiliki tingkat pendapatan rendah dan menengah.

Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) mengungkapkan bagaimana anak-anak yang berada di jalur badai mengalami kemunduran dalam pendidikan mereka.

Kemunduran pendidikan terjadi terutama di daerah yang jarang terkena badai dengan anak perempuan menanggung beban yang lebih besar. Dampak lebih besar di daerah itu terjadi karena ketidaksiapan menghadapi bencana.

“Ada kondisi khusus di mana siklon yang cukup kuat tetapi tidak terlalu sering terjadi justru memberikan dampak buruk pada pendidikan anak-anak,” ungkap kata penulis senior studi Eran Bendavid, seorang profesor kedokteran dan kebijakan kesehatan di Stanford School of Medicine, dikutip dari Phys, Kamis (1/5/2025).

Siklon tropis adalah sistem awan dan badai petir yang berputar dan menghasilkan angin kencang serta hujan lebat.

Perkiraan mengenai dampak siklon tropis seringkali bersifat regional daripada global dan tidak mempertimbangkan kerentanan populasi.

Pemanasan iklim diperkirakan akan meningkatkan frekuensi siklon tropis yang lebih kuat, yang akan memperburuk dampak buruknya pada masyarakat rentan.

Badai-badai ini dapat merusak infrastruktur pendidikan dan tempat tinggal, yang mengakibatkan anak-anak kehilangan tempat tinggal atau terpaksa membantu perbaikan rumah, sehingga mengganggu pendidikan mereka.

Hasil studi disimpulkan setelah tim peneliti menganalisis catatan pendidikan lebih dari 5,4 juta orang di 13 negara berpendapatan rendah dan menengah yang terkena dampak siklon tropis antara tahun 1954 dan 2010.

Temuannya mengejutkan. Paparan terhadap siklon apa pun pada usia prasekolah (sekitar 5 atau 6 tahun) dikaitkan dengan penurunan sebesar 2,5 persen dalam kemungkinan untuk memulai sekolah dasar.

Ini menunjukkan bahwa bahkan paparan siklon ringan di usia dini dapat mengurangi peluang anak untuk masuk SD.

Bahkan studi menemukan ada penurunan sebanyak 8,8 persen setelah badai yang hebat yang terjadi di komunitas yang kurang terbiasa dengan kejadian seperti itu.

Hal tersebut memperkuat temuan sebelumnya bahwa dampak buruk lebih besar di daerah yang kurang siap menghadapi siklon.

Dalam 20 tahun terakhir siklon tropis telah mencegah lebih dari 79.000 anak di 13 negara berpendapatan rendah dan menengah yang diteliti untuk memulai sekolah.

KUBET – Masalah Kronis di Balik Kebijakan Bali soal Air Minum Dalam Kemasan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Hanif Faisol Nurofiq didampingi  Gubernur Bali Wayan Koster usai menghadiri acara  Launching Gerakan Bali Bersih Sampah di Art Center, Denpasar, pada Jumat  (11/4/2025). KOMPAS.COM/ Yohanes Valdi Seriang Ginta

Lihat Foto

Wayan Koster mengeluarkan Surat Edaran (SE) nomor 9 tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih.

Salah satu poin dalam SE tersebut adalah melarang pelaku usaha memproduksi, mendistribusikan, dan menyediakan air minum kemasan plastik sekali pakai di wilayah Bali.

Pemerintah Provinsi Bali menargetkan Pulau Dewata terbebas dari sampah air minum dalam kemasan (AMDK) plastik sekali pakai ukuran di bawah 1 liter pada tahun 2026.

Gubernur Bali I Wayan Koster menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menekan jumlah limbah plastik, yang saat ini menyumbang sekitar 17 persen dari total 3.500 ton sampah harian.

Ia menyoroti pentingnya pendekatan isi ulang (refill) sebagai langkah utama untuk mendorong masyarakat meninggalkan penggunaan kemasan sekali pakai.

“Seluruh proses, baik itu produksi, distributor, termasuk menjualbelikan produk air minum kemasan di bawah 1 liter karena konsep kita adalah refill,” kata Koster. 

Kebijakan ini sontak menuai beragam reaksi, baik dukungan maupun kritik dari masyarakat dan pelaku industri.

Namun, di balik kebijakan yang menuai kontroversi ini, muncul pertanyaan penting: sejauh mana plastik telah memengaruhi kehidupan manusia, dan apa sebenarnya fakta ilmiah di baliknya?

Polusi plastik kini menjadi salah satu masalah lingkungan paling mendesak di dunia. Produksi plastik sekali pakai yang meningkat pesat telah melampaui kemampuan global untuk mengelolanya secara efektif.

Dampak polusi plastik paling nyata terlihat di negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, di mana sistem pengelolaan sampah sering kali tidak memadai atau bahkan tidak ada sama sekali. Namun, negara-negara maju pun tidak luput dari masalah ini—terutama di negara dengan tingkat daur ulang yang rendah.

Saking meluasnya sampah plastik, isu ini telah mendorong lahirnya inisiatif global untuk merumuskan perjanjian internasional yang kini sedang dinegosiasikan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sebagian besar sampah plastik yang mencemari lautan—sebagai tempat pembuangan terakhir di Bumi—berasal dari daratan. Limbah ini terbawa ke laut melalui sungai-sungai besar, yang berfungsi seperti ban berjalan, mengangkut lebih banyak sampah plastik saat mengalir ke hilir.

Setelah mencapai laut, sebagian besar sampah plastik tetap berada di perairan pesisir. Namun, begitu terbawa arus laut, sampah tersebut dapat menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Di Pulau Henderson—sebuah atol tak berpenghuni di Kepulauan Pitcairn, yang terletak terpencil di antara Chili dan Selandia Baru—ilmuwan menemukan berbagai benda plastik yang berasal dari Rusia, Amerika Serikat, Eropa, Amerika Selatan, Jepang, hingga Tiongkok.

KUBET – Ancaman Perubahan Iklim Makin Nyata, Picu Banjir hingga Badai Tropis

Ilustrasi perubahan iklim

Lihat Foto

Perubahan Iklim dan Tata Kelola Ekonomi Karbon Kementerian Lingkungan Hidup, Ary Sudijanto, mengatakan perubahan iklim memicu bencana alam berupa banjir, kenaikan suhu global, hingga badai tropis.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPN) menunjukkan adanya tren peningkatan bencana hidrologi karena perubahan pola cuaca dan iklim.

“Di awal tahun 2025 banyak tempat di Indonesia yang mengalami bencana banjir dan tanah longsor, yang kemudian menjadi salah satu evidence bahwa dampak perubahan iklim menjadi semakin nyata,” ujar dalam acara peluncuran National Adaptation Plan, Jumat (2/5/2025).

Tak hanya itu, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Timor Leste juga sempat dihantam badai tropis seroja pada 2021 lalu. Padahal, wilayah tersebut tidak pernah mengalami badai dengan intensitas sangat dahsyat sebelumnya.

“Kita juga melihat di pesisir pantai Pulau Jawa, pengenangan permanen telah menjadi ancaman dari kota yang berpenduduk padat di sepanjang Pantura Pulau Jawa,” tutur Ary.

Faktor lain seperti penurunan muka air tanah turut memperparah kenaikan air laut. Sehingga air melimpas ke daratan akibat pemanasan global. Di sektor pertanian, kata Ary, krisis iklim menyebabkan penurunan produksi pangan bahkan gagal panen.

“Di bidang kesehatan kita melihat bahwa perubahan iklim itu memperluas vektor penyakit terkait dengan iklim seperti DBD, malaria, dan diare,” ungkap dia.

Ary menyatakan, berbagai upaya telah dilakukan untuk memitigasi dampak krisis iklim. Hal ini termasuk komitmen negara-negara dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca.

Namun, dia menilai upaya mitigasi masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Pada 2024, kenaikan suhu global melebihi angka yang ditetapkan Perjanjian Paris

“Di tahun 2024, suhu rata-rata globalnya 1,59 derajat celsius dibandingkan dengan rata-rata suhu pra industri. Sehingga tidak mengherankan kalau dampak dari perubahan iklim menjadi makin nyata,” kata Ary.

Dalam kesempatan itu, Ary turut menyoroti kerugian akibat perubahan iklim mencapai 0,55-3,55 persen dari Produk Domestik Bruto nasional di 2030.

Susun Rencana Adaptasi Nasional

Kini, KLH bersama sejumlah mitra menyusun Rencana Adaptasi Nasional atau NAP dalam mengatasi dampak perubahan iklim.

NAP merupakan aspek penting guna meningkatkan aksi adaptasi melalui kebijakan dan perencanaan sesuai poin ketujuh Perjanjian Paris.

Penyusunan dokumen itu masih terbilang lambat lantaran baru 51 negara yang menyerahkannya ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

“Oleh karena itu dalam COP 28 di Dubai tahun 2023, didorong bahwa negara-negara yang belum menyelesaikan NAP dapat segera melakukan penyusunan dan dapat men-submit-nya di tahun 2025,” sebut Ary.

Dia memastikan, dokumen NAP bakal segera dieesaikan dan bisa diserahkan ke UNFCCC sebelum COP ke-30 di Brazil November 2025 mendatang.

KUBET – Patroli Nagari Dibentuk, Jaga Harimau Tetap Liar, Manusia Tetap Damai

Harimau Sumatera.

Lihat Foto

harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae).

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat dan Yayasan SINTAS Indonesia membentuk Patroli Anak Nagari, atau Pagari. Isinya bukan tentara, melainkan warga lokal yang siap memitigasi konflik dengan satwa liar, sambil menjaga harimau tetap punya tempat hidup.

Ada sepuluh warga terpilih yang diseleksi langsung oleh wali nagari.

“Mereka orang terpilih oleh wali nagari yang merupakan perwakilan setiap jorong (kampung atau desa) di daerah itu,” kata Rusdiyan P. Ritonga, Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Sumbar.

Mereka belajar, tetapi tak hanya duduk di ruang kelas.

Selama tiga hari, sejak 29 April hingga 1 Mei 2025, para anggota Pagari ini belajar tentang konservasi harimau sumatera, bagaimana cara membaca hutan, mengenali jejak, memasang kamera jebak, hingga menghadapi konflik langsung dengan satwa liar.

“Dua hari materi tentang teori, satu hari praktik lapangan tentang patroli dan penanganan konflik harimau,” lanjut Rusdiyan.

Tujuannya jelas: bukan untuk menjauhkan harimau dari manusia, tapi untuk belajar hidup berdampingan.

“Konflik yang tidak terkendali akan menyebabkan kerugian yang luar biasa dari kedua pihak yakni alam harimau sumatera dan manusia,” ujarnya.

Pagari Koto Tinggi ini jadi yang kedelapan di Sumatera Barat. Sebelumnya, tim serupa sudah terbentuk di Agam, Solok, dan Pasaman. Semua berada di titik-titik penting, tempat batas ruang hidup manusia dan satwa mulai tak jelas.

Fernando Dharma dari Yayasan SINTAS Indonesia menyebut Pagari seperti mata dan telinga di lapangan, memperkuat deteksi dini sekaligus respons cepat.

“Kami siap memberikan dukungan dalam menjaga keanekaragaman hayati dan ekosistem dari program kegiatan yang akan dilakukan kedepannya,” katanya.

Wali Nagari Koto Tinggi, Insanul Rijal, menyambut inisiatif ini dengan tangan terbuka. Ia tahu, hidup di tepi hutan bukan juga soal belajar memahami tetangga selain manusia.

“Kehadiran pagari bisa memberikan respon cepat terhadap informasi terjadinya konflik,” ujarnya.

KUBET – Jual-Beli Cula Badak dan Taring Harimau, WN China Terancam 10 Tahun Penjara

Ilustrasi badak

Lihat Foto

cula badak.

Tersangka juga membawa 12 taring harimau dan 20 kantung empedu yang kini dalam proses pengujian di Laboratorium Sistematikan Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Kepala Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kehutanan Wilayah Sulawesi, Aswin Bangun, menjelaskan kasus itu terungkap dari laporan petugas Bea Cukai Manado yang melakukan pengawasan terhadap pesawat dari Guangzhou.

Petugas menemukan paket milik BQ yang berisi bagian tubuh satwa liar dilindungi yang tidak disertai sertifikat kesehatan atau izin edar dari negara asal.

“Ancaman pidana bagi pelaku mencapai 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp 2 miliar,” kata Aswin dalam keterangannya, Jumat (2/5/2025).

Tersangka dijerat dengan Pasal 40A ayat (2) huruf c juncto Pasal 23 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

“Saat ini, BQ ditahan di Rutan Kelas II Manado, dan barang bukti diserahkan ke BKSDA Sulawesi Utara,” imbuh Aswin.

Sementara itu, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, menyatakan perdagangan ilegal hewan dilindungi merupakan kejahatan yang mengancam keberagaman hayati, stabilitas hukum, serta keamanan nasional.

Menurut dia, jual beli satwa liar bukan hanya pelanggaran dalam bidang konservasi, melainkan juga bagian dari kejahatan internasional.

“Kejahatan ini sering kali terhubung dengan tindak pidana lain, seperti pencucian uang, korupsi, dan pemalsuan dokumen,” tutur Januanto.

Ia menegaskan bahwa penanganan kasus ini memerlukan teknologi forensik, penguatan kerja sama internasional, serta pengambilan kebijakan yang berlandaskan pada data dan analisis yang akurat.

Oleh sebab itu, pihaknya berkomitmen memperkuat kerja sama lintas sektor maupun negara dalam menghadapi perdagangan ilegal satwa liar.

Selain itu, memprioritaskan peningkatan kapasitas intelijen kehutanan dan pengawasan di titik-titik perbatasan.

“Kami berkomitmen untuk tidak hanya menindak pelaku berinisial BQ, tetapi juga mengungkap seluruh jaringan perdagangan ilegal,” jelas Januanto.

“Termasuk aktor intelektual dan jejaring lintas negara, melalui langkah-langkah yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan,” tambah dia.

KUBET – Inisiatif China yang Wajib Ditiru, Bangkitkan Listrik Hijau lewat Restorasi Ekosistem

Sungai Kuning, China.

Lihat Foto

Studi terbaru mengungkapkan bahwa strategi ER menjadi kunci dalam mengatasi masalah sedimentasi yang selama ini menghambat efisiensi operasional dan masa pakai waduk tersebut.

Pembangkit listrik tenaga air, yang merupakan salah satu sumber energi terbarukan paling menjanjikan dan menyumbang sekitar 14 persen dari total kapasitas daya terpasang global pada akhir tahun 2023, kini menghadapi tantangan serius berupa sedimentasi waduk yang dapat mengurangi efisiensi produksi energi.

Sedimentasi waduk secara global menyebabkan hilangnya kapasitas penyimpanan antara 0,5 persen hingga 1 persen setiap tahunnya akibat akumulasi sedimen yang terperangkap.

Masalah ini semakin mendesak seiring dengan perubahan iklim dan aktivitas manusia, di mana Sungai Kuning menjadi salah satu sungai yang paling terdampak karena tingginya beban sedimen historisnya.

Untuk mengatasi permasalahan ini secara berkelanjutan, studi tersebut meneliti perubahan eko-hidrologi yang dihasilkan dari tindakan ER yang diterapkan sejak tahun 1999, termasuk program penghijauan dan pembangunan bendungan penahan sedimen sebagai bagian dari Program Grain-for-Green Tiongkok.

Upaya-upaya ini, seperti dilansir laman The Pinnacle Gazette, terbukti efektif dalam meningkatkan tutupan vegetasi dan secara signifikan mengurangi aliran sedimen menuju waduk.

Melalui pemodelan eko-hidrologi dan regulasi waduk selama hampir dua dekade (2000–2019), para peneliti berhasil mengevaluasi perbedaan antara skenario dengan implementasi ER dan skenario tanpa ER.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk Waduk Xiaolangdi, produksi energi mengalami peningkatan yang signifikan, mencapai sekitar 57,3% atau setara dengan sekitar 100 miliar kWh selama periode penelitian.

Peningkatan ini terutama disebabkan oleh kapasitas penyimpanan sedimen yang diperpanjang berkat upaya restorasi, meskipun produksi energi rata-rata menunjukkan sedikit penurunan sebesar 6,9 persen.

Dengan kapasitas desainnya, Waduk Xiaolangdi diperkirakan mampu menghasilkan sekitar 2,7 × 10¹¹ kWh energi sebelum menghadapi masalah inefisiensi akibat penumpukan sedimen.

Keberhasilan ini tidak hanya didasarkan pada efektivitas praktik ER, tetapi juga menggarisbawahi pentingnya pengelolaan daerah aliran sungai yang terintegrasi untuk memastikan keberlanjutan pembangkit listrik tenaga air di seluruh dunia.

Selain itu, pengurangan beban sedimen dan peningkatan tutupan hijau juga berkontribusi pada peningkatan kualitas air Sungai Kuning, menunjukkan manfaat ekologis yang lebih luas dari inisiatif ini.

Secara kuantitatif, studi tersebut mencatat adanya pengurangan aliran sungai tahunan rata-rata dan beban sedimen yang berkorelasi erat dengan implementasi upaya ER. Aliran sungai yang mencapai Waduk Xiaolangdi berkurang sekitar 7,9 persen, sementara beban sedimen mengalami penurunan yang lebih besar, yaitu sekitar 38,9 persen dibandingkan dengan skenario tanpa adanya ER.

KUBET – Inggris Coba Tangkap Karbon dari Laut, Makan Duit Rp 438 Triliun

ilustrasi laut

Lihat Foto

penangkapan karbon dioksida (CO2) dari laut. Dikutip dari CNN, Jumat (2/5/2025), proyek yang dinamai SeaCURE itu menelan biaya hingga 26,7 miliar dollar AS dari pemerintah Inggris.

Tujuannya, untuk mengetahui apakah penangkapan karbon di laut dapat dilakukan dan bersaing dengan penangkapan karbon di udara dalam proyek carbon, capture, storage (CCS).

“Alasan mengapa air laut mengandung begitu banyak karbon adalah karena saat Anda memasukkan CO2 ke dalam air, 99 persen di antaranya menjadi bentuk karbon terlarut lain yang tidak bertukar di atmonsfer,” ujar pemimpin riset dari Universitas Exeter, Paul Halloran.

“Hal ini juga mengartikan mudahnya untuk menghilangkan karbon tersebut dari air,” imbuh dia.

Halloran menjelaskan, pihaknya mulai membangun pabrik percontohan pada 2024 di Weymouth Sea Life Centre, pesisir selatan Inggris. Pabrik itu dirancang untuk memproses 3.000 liter air laut per menit dan menghilangkan sekitar 100 ton CO2 per tahun.

“Kami ingin menguji teknologi ini di lingkungan yang nyata dengan air laut sungguhan, untuk mengidentifikasi masalah yang dihadapi,” ungkap Halloran

Teknologi SeaCURE memanfaatkan kemampuan laut yang secara alami menyerap sekitar 25 persen karbon dioksida dari atmosfer. Gas CO2 yang diekstraksi dari air laut akan dialirkan melalui proses pemurnian dengan karbon aktif dalam bentuk sabut kelapa yang dibakar. Kemudian, CO2 dimasukkan ke tempat penyimpanan di dalam tanah. 

Air yang telah kehilangan kandungan karbonnya lahtas diberi alkali, guna menyeimbangkan kembali tingkat keasamannya sebelum dikembalikan ke laut. Siklus itu memungkinkan laut terus-menerus menyerap karbon baru dari atmosfer.

“Air buangan yang saat ini memiliki konsentrasi karbon yang sangat rendah perlu diisi ulang, jadi air hanya mencoba menyerap CO2 serta menyerapnya dari atmosfer,” tutur dia.

Kendati demikian, ia mengakui teknologi SeaCURE membutuhkan pendalaman lebih lanjut. Selain itu, diperlukan biaya yang besar untuk menangkap karbon dari laut.

“Tantangannya adalah memastikan teknologi ini tetap efisien dan tidak menciptakan jejak karbon baru dari penggunaan energi,” jelas Halloran.

Risiko terhadap Ekosistem

Di sisi lain, peneliti University of Exeter, Guy Hooper, menyoroti dampak penangkapan karbon dari laut terhadap ekosistem di dalamnya. Tim peneliti membuang air laut yang rendah karbon dalam jumlah kecil, sehingga ekosistemnya dinilai tak akan terdampak besar. Namun, hal itu tidak berarti bahwa SeaCURE 100 persen aman.

“Kami telah melakukan eksperimen untuk mengukur bagaimana organisme laut merespons air laut rendah karbon. Hasil awal menunjukkan bahwa beberapa organisme laut, seperti plankton dan kerang, dapat terpengaruh saat terpapar air laut rendah karbon,” ucap Hooper.

Oleh sebab itu, sistem SeaCURE tidak boleh digunakan di dekat habitat laut yang sensitif.

Profesor ahli CCS di University of Edinburgh, Stuart Haszeldine, menilai meskipun teknologi SeaCURE lebih hemat energi dibandingkan penangkapan karbon udara, sistem skala penuh akan memerlukan pasokan energi terbarukan. Dibutuhkan pula penyimpanan permanen CO2. 

“Tantangan selanjutnya, bagaimana SeaCURE dapat meningkatkan skala operasinya dan beroperasi lebih lama untuk membuktikan alatnya dapat menangkap jutaan ton CO2 setiap tahunnya,” ungkap Haszeldine.

KUBET – BRIN-Denmark Kembangkan Reaktor Nuklir Model Terbaru

Ilustrasi energi nuklir (Pixabay/Pexels)

Lihat Foto

BRIN) bekerja sama dengan perusahaan teknologi asal Denmark, Saltfoss, untuk mengembangkan reaktor nuklir Molten Salt Reactor (MSR).

Ini merupakan reaktor nuklir generasi keempat berbasis pendingin garam yang dinilai potensial diterapkan di kawasan Asia Tenggara.

Kepala Organisasi Riset Teknologi Nuklir BRIN, Syaiful Bakhri, menyampaikan Saltfoss tertarik bekerja sama lantaran teknologi yang dikembangkan perusahaan masih dalam tahap desain konsep dasar.

“Karena masih dalam bentuk konsep, mereka ingin berkolaborasi sejak awal untuk mengembangkan desain yang terbaik,” ujar Syaiful dalam keterangannya, Jumat (2/5/2025).

Dia menjelaskan, teknologi reaktor terapung MSR dianggap cocok untuk mendistribusikan energi di wilayah terpencil Indonesia. Selain itu, memberikan solusi energi yang lebih fleksibel, efisien, dan ramah lingkungan.

Sebagai langkah awal, BRIN dan Saltfoss telah melakukan penandatanganan Letter of Intent (LoL) pekan lalu. Kerja sama ini mencakup berbagai aspek antara lain pengelolaan limbah nuklir, penyiapan tapak reaktor, hingga persiapan terkait perizinan dan keselamatan nuklir.

“BRIN akan melibatkan tiga pusat riset yang relevan dan memiliki kapasitas di bidangnya masing-masing, guna memastikan pengembangan teknologi ini dilakukan secara terintegrasi dan ilmiah,” ungkap Syaiful.

Kemudian, pihaknya bakal membentuk kelompok kerja bersama yang bertugas menyusun publikasi ilmiah, dokumen teknis, serta kajian lanjutan untuk membuka peluang riset baru.

Kata Syaiful, kelompok tersebut bakal merumuskan rekomendasi strategis kepada pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat.

“Salah satu tujuan utama dalam tahap awal ini adalah melakukan asesmen mendalam terhadap potensi penerapan teknologi PLTN jenis MSR ini,” papar Syaiful.

“Dengan keterlibatan sejak tahap awal, kami dapat memastikan bahwa teknologi yang dikembangkan selaras dengan kebutuhan dan regulasi nasional, sekaligus meningkatkan kapasitas riset dan inovasi dalam negeri,” imbuh dia.

Syaiful menyatakan bahwa riset itu menunjukkan, Indonesia bukan hanya menggunakan energi dari nuklir saja tetapi juga mampu berperan mengembangkan reaktor generasi terbaru.

KUBET – KLH Susun Rencana Adaptasi Nasional Atasi Dampak Krisis Iklim

Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Ekonomi Karbon KLH, Ary Sudijanto, menjelaskan terkait penyusunan Rencana Adaptasi Nasional perubahan iklim, Jumat (2/5/2025).

Lihat Foto

Rencana Adaptasi Nasional atau National Action Plan (NAP), untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Ekonomi Karbon KLH, Ary Sudijanto, mengatakan NAP merupakan aspek penting pada meningkatkan aksi adaptasi melalui kebijakan ataupun perencanaan sesuai poin ketujuh Perjanjian Paris.

Namun, penyusunan NAP di Indonesia dan internasional masih terbilang lambat lantaran baru 51 negara yang menyerahkan dokumennya ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

“Oleh karena itu, dalam COP 28 di Dubai tahun 2023, didorong bahwa negara-negara yang belum menyelesaikan NAP dapat segera melakukan penyusunan dan dapat men-submitnya di tahun 2025,” ungkap Ary dalam acara peluncuran NAP, Jumat (2/5/2025).

Dia berpandangan, perubahan iklim menunjukkan dampak yang makin nyata. Suhu rata-rata global mencapai 1,59 derajat celsius pada 2024. Angka ini di atas tingkat pra-industri dan melampaui batas aman 1,5 derajat celcius yang disepakati dalam Perjanjian Paris.

Karenanya, diperlukan tindakan adaptasi dan mitigasi nasional maupun global untuk mengatasi krisis iklim tersebut.

“Mulai hari ini kami akan menyusun dokumen NAP Indonesia yang rencananya bisa segera diselesaikan, dan harapannya bisa kami submisi ke UNFCCC sebelum COP ke-30 di Brasil November nanti,” jelas Ary.

Dalam kesempatan itu, Ary turut menyoroti bahwa kerugian akibat perubahan iklim diprediksi mencapai 0,55-3,55 persen dari Produk Domestik Bruto nasional di 2030.

“Dalam konteks pemerintahan maka penyesuaian terhadap dampak-dampak perubahan iklim dalam perencanaan pembangunan kita harus lebih baik lagi,” ucap dia.

Dia menjelaskan, penanganan perubahan iklim terdiri dari mitigasi dan adaptasi. Ary tak menampik, upaya mitigasi lebih digencarkan ketimbang langkah adaptasi.

“Kita harus sama-sama menyadari bahwa upaya untuk adaptasi, apalagi melihat Indonesia sebagai negara yang vulnerable terhadap dampak perubahan iklim menjadi kewajaran kalau kita punya perhatian lebih terkait dengan adaptasi ini,” papar dia. 

Elemen penting dalam penyusunan NAP mencakup inventarisasi dampak dan proyeksi perubahan iklim, penyusunan opsi adaptasi, implementasi strategi, hingga sistem pemantauan serta evaluasi.

Ary menyebut, Indonesia sudah memiliki modal penyusunan NAP. Ini termasuk dokumen Pembangunan Berketahanan Iklim Bappenas, kebijakan adaptasi perubahan iklim kesehatan, serta peta jalan adaptasi perubahan iklim yang dirilis KLHK.

Penyusunan Rencana Adaptasi Nasional pun termaktub dalam Peraturan Presiden (Perpes) Nomor 98 Tahun 2021, yang mengatur implementasi Perjanjian Paris setelah Indonesia meratifikasinya dengan Undang-Undang 16 Tahun 2016.