
demokrasi elektoral yang penuh baliho, jingle, dan janji-janji perubahan, ada suara yang luput kita dengarkan: suara hutan. Ia tidak berteriak, tidak memilih, dan tidak bisa mengadu ke Mahkamah Konstitusi.
Diamnya hutan bukan berarti bisu. Diamnya adalah gugatan paling lantang atas demokrasi yang abai pada ekologi.
Dalam setiap batang pohon yang tumbang untuk kepentingan tambang, jalan, atau proyek strategis nasional, sesungguhnya ada hak-hak ekologis yang dirampas—tanpa mekanisme banding.
Demokrasi selama ini terlalu antroposentris: manusia sebagai pusat segalanya. Rakyat dianggap pemilik satu-satunya suara sah.
Namun, bagaimana dengan alam yang menjadi tumpuan hidup? Tidakkah seharusnya hutan, sungai, laut, dan udara juga memiliki perlindungan hukum sebagai entitas hidup yang terhubung erat dengan hak-hak generasi kini dan mendatang?
Jika demokrasi adalah sistem untuk mendengar suara semua yang terdampak, maka hutan harus mulai dihitung dalam percakapan publik dan perumusan kebijakan.
Ekologi yang dilupakan
Sebagai akademisi, saya menyaksikan sendiri betapa demokrasi prosedural sering kali gagal melindungi ruang hidup. Alih-alih menjadi alat kontrol kekuasaan, demokrasi malah digunakan untuk melegitimasi perampasan ruang melalui proses formal yang cacat moral.
Persetujuan lingkungan hidup kadang hanya menjadi formalitas administrasi, studi AMDAL sekadar pengisi rak, dan ruang partisipasi publik hanyalah panggung konsultasi semu.
Lihatlah kasus di Papua dan Kalimantan. Proyek-proyek perkebunan, pertambangan, hingga food estate kerap dipaksakan atas nama pembangunan dan peningkatan kesejahteraan.
Padahal yang terjadi adalah pemiskinan ekologis, pengusiran masyarakat adat, dan rusaknya sistem penyangga kehidupan.
Kita melihat demokrasi formal berlangsung: ada rapat dengar pendapat, ada pengesahan anggaran, ada izin dari kementerian. Namun semuanya seperti tidak benar-benar mewakili kepentingan yang paling terdampak—yakni ekosistem itu sendiri.
Sudah saatnya kita menggagas bentuk baru demokrasi: ekodemokrasi. Demokrasi yang tidak hanya mendengar suara manusia, tapi juga mempertimbangkan keberlanjutan ekologis sebagai pilar keadilan.
Ini bukan ide utopis. Di beberapa negara seperti Ekuador dan Bolivia, alam telah diberi hak hukum secara nasional.
Di Ekuador, pasal 71 sampai 73 Konstitusi 2008 mengakui hak-hak alam sebagai bagian dari sistem hukum.
Sementara di Bolivia, hak-hak alam diakui melalui Undang-Undang Hak Ibu Pertiwi (Ley de Derechos de la Madre Tierra) tahun 2010 dan Undang-Undang Kerangka Hukum Lingkungan Hidup tahun 2012.