
Enam sektor strategis tersebut adalah pertanian, bahan bakar fosil, kehutanan, infrastruktur, perikanan dan budidaya perairan, serta pertambangan.
Dalam studi, peneliti menganalisis publikasi ilmiah, laporan lembaga resmi, dan anggaran negara-negara untuk mengetahui subsidi yang dialokasikan pada enam sektor tersebut.
Data menunjukkan bahwa sektor-sektor tersebut menerima subsidi antara Rp 27.200 triliun hingga Rp 51.200 triliun per tahun.
Sementara kerusakan lingkungan yang mereka timbulkan melalui dampak tidak langsung terhadap planet ini jauh lebih besar, diperkirakan mencapai Rp 168.000 triliun hingga Rp 361.600 triliun per tahun.
Studi ini menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan yang ditimbulkan telah menimbulkan konsekuensi ekonomi yang signifikan.
Bahan bakar fosil, misalnya, pada tahun 2022 secara global menerima subsidi mencapai Rp 112.000 triliun. Riset menunjukkan bahwa penghapusan subsidi ini bisa mengurangi emisi karbon global sebesar 43 persen dan mencegah hingga 1,6 juta kematian dini per tahun akibat kualitas udara.
Semenara sektor kehutanan, pada tahun 2024 menerima subsidi sebesar Rp 2.800 triliun. Namun, deforestasi bruto pada tahun 2023 mencapai 6,37 juta hektare, yang turut menyumbang pada kegagalan pencapaian target iklim global.
Di sektor infrastruktur, subsidi global yang dikerahkan mencapai Rp 36.000 triliun. Namun, pembangunan infrastruktur seperti jalan dan sistem irigasi menyebabkan hilangnya habitat alami dan penggunaan air yang tidak berkelanjutan.
Sektr perikanan dan budidaya perairan menerima subsidi hingga Rp 880 triliun pada tahun 2023. Banyak subsidi ini mendukung praktik yang tidak berkelanjutan, seperti penangkapan ikan berlebih dan penangkapan ilegal, yang mengancam keanekaragaman hayati laut.
Pada sektor pertambangan, subsidinya mencapai Rp 640 triliun. Sebanyak 80 persen kegiatan pertambangan logam dilakukan di wilayah-wilayah dengan keanekaragaman hayati tinggi, menyebabkan dampak lingkungan besar.
“Salah satu pesan utama dari studi ini adalah bahwa tidak ada sistem yang memantau berapa banyak subsidi yang diberikan, kepada industri mana, dan untuk mendukung aktivitas apa. Informasi ini sulit diperoleh, dan studi ini mendorong adanya transparansi yang lebih besar dari pemerintah dalam menyediakannya,” jelas Victoria Reyes-García, pimpinan tim penelitian seperti dikutip Phys, Jumat (23/5/2025).
Penelitian dari ICTA-UAB bukan sesederhana subsidi perlu dihapus atau tidak, tetapi mengajak dunia mendorong transformasi ekonomi.
Masalah subsidi kerap kali tidak transparan dan terpantau. Kurangnya informasi ini menjadi lebih mengkhawatirkan mengingat besarnya subsidi yang diberikan kepada berbagai sektor ekonomi dan dampak tidak langsungnya terhadap kerusakan lingkungan. Subsidi dunia perlu lebih transparan.