
konservasi pesisir dan laut hingga 30 persen sebagai langkah antisipasi terhadap lonjakan kebutuhan pangan dan tekanan ekologis.
Direktur Konservasi Ekosistem, Ditjen Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP, Firdaus Agung, menyebut bahwa konservasi bukan hanya dinilai sebagai instrumen perlindungan alam, tapi juga sebagai strategi keberlanjutan pangan nasional.
“Kebutuhan hasil laut akan terus meningkat seiring pertumbuhan populasi global. Kalau kita tidak mulai menyiapkan ekosistem pendukung sejak sekarang, dampaknya bisa mengancam keseimbangan,” kata Firdaus dalam Sosialisasi Visi MPA dan OECM 2045 di Bogor, Rabu (14/5/2025).
Populasi dunia pada 2050 diperkirakan mencapai 9,6 miliar jiwa, dengan lonjakan kebutuhan pangan hingga 70 persen, termasuk dari sektor kelautan. Karena itu, perluasan konservasi laut dinilai sebagai infrastruktur ekologis yang tidak bisa dibangun mendadak.
Target konservasi laut sebesar 30 persen ditetapkan KKP untuk dicapai pada 2045. Selain menjawab tantangan nasional, kebijakan ini juga sejalan dengan agenda global “Harmony with Nature” yang menekankan perlindungan keanekaragaman hayati pada 2030.
“Pilihan kita cuma dua: menjaga sejak dini, atau menanggung kerusakan karena eksploitasi tanpa perbaikan,” kata Firdaus.
Hingga 2023, kawasan konservasi laut Indonesia telah mencapai 29,3 juta hektar atau sekitar 9 persen dari total wilayah laut. Artinya, Indonesia masih harus menambah sekitar 68 juta hektar kawasan konservasi untuk mencapai target 30 persen atau 97,5 juta hektar pada 2045.
Di tingkat implementasi, KKP menyusun peta jalan konservasi laut nasional bersama berbagai pihak.
Rili Djohani, Direktur Eksekutif Coral Triangle Center (CTC), menyebut bahwa roadmap tersebut mencakup perencanaan terpadu, peningkatan kapasitas, pemanfaatan berkelanjutan, penguatan regulasi, serta skema pendanaan jangka panjang.
Ekonomi Biru
Dari sisi kebijakan, konservasi laut juga menjadi bagian dari strategi ekonomi biru yang diintegrasikan dalam RPJMN dan Renstra KKP 2025–2029. Konservasi diposisikan sebagai fondasi bagi ketahanan pangan, adaptasi iklim, dan pengembangan ekonomi maritim.
Namun di lapangan, tantangan utamanya adalah persepsi publik. Menurut Firdaus, sebagian masyarakat pesisir masih melihat konservasi sebagai kebijakan yang eksklusif dan penuh pembatasan.
“Mereka juga merasa konservasi itu bukan urusan mereka, karena terasa seperti tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Padahal justru mereka yang paling terdampak dan bisa paling diuntungkan,” ujarnya.
Untuk mengatasi hal itu, KKP mulai mendorong pendekatan komunikasi yang kontekstual. Alih-alih menyampaikan konservasi sebagai agenda nasional, dialog difokuskan pada dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat pesisir.
“Kalau dibilang konservasi bisa membuat laut lebih sehat dan ikan lebih dekat, itu akan jauh lebih bisa dipahami dan diterima nelayan,” tambah Firdaus.
Upaya kolaborasi lintas aktor, mulai dari pemerintah daerah, LSM, hingga komunitas lokal, disebut menjadi kunci keberhasilan konservasi. Saat ini KKP tengah melakukan pemetaan wilayah potensial, menilai dampaknya, dan menyusun mekanisme pembiayaan yang adil.