KUBET – Potensi Rumput Laut Besar, tetapi Baru 11 Persen Lahan Budidaya yang Dimanfaatkan

Petani rumput laut Joko Sumiyono (65) saat mengangkat rumput laut yang ditanamnya di perairan Pantai Bondo, Jepara, Jawa Tengah, Rabu (23/10/2024).

Lihat Foto

rumput laut global. Namun, dari seluruh potensi lahan budidaya, baru 11,65 persen yang benar-benar dimanfaatkan.

Menurutnya, sebagian besar rumput laut masih dibudidayakan oleh pelaku skala kecil di pesisir, dengan masih mengandalkan metode tradisional.

“Padahal, rumput laut tidak hanya menjadi sumber penghidupan masyarakat pesisir, tetapi juga sebagai solusi untuk ketahanan pangan, mitigasi perubahan iklim, serta pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan,” kata Tebe sebagaimana dikutip dari keterangan tertulisnya, Selasa (17/6/2025).

Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menambahkan bahwa rumput laut juga berpotensi menjadi bahan baku biofarmasi dan kosmetik yang ramah lingkungan.

Selain itu, ia menyebut tanaman laut ini dapat menjadi pengganti plastik yang lebih ramah lingkungan, sekaligus berfungsi sebagai penyerap karbon alami melalui proses fotosintesisnya dan dalam jumlah banyak rumput laut dapat membantu melindungi garis pantai dari erosi dan dampak badai, yang semakin parah akibat perubahan iklim.

Dari sisi ekonomi, Tebe mengutip laporan Future Market Insights, memproyeksikan nilai pasar global rumput laut mencapai 9,4 miliar dolar AS pada 2025 dan meningkat menjadi 23,9 miliar dolar AS pada 2035. Angka tersebut tumbuh dengan laju pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR) sebesar 9,8 persen.

“Peluang pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia masih sangat besar,” ujar Tebe.

Oleh sebab itu, untuk mendukung perluasan potensi dan peningkatan produktivitas, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah membangun model budidaya rumput laut di beberapa daerah, seperti Kabupaten Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Rote Ndao (NTT), dan Maluku Tenggara (Maluku).

Pihaknya juga tengah menerapkan strategi revitalisasi dan pengembangan bibit unggul berbasis kultur jaringan yang ramah lingkungan.

Tebe mengatakan bahwa produksi rumput laut Indonesia pada 2024 tercatat sebesar 10,80 juta ton, naik 10,82 persen dibanding tahun sebelumnya. “Produksi tersebut didominasi oleh jenis Kappaphycus alvarezii, diikuti oleh Gracilaria spp dan Eucheuma spinosum,” jelas Tebe.

Sementara itu, untuk memperkuat ekspor dan ketahanan pangan nasional, KKP melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya juga telah menyiapkan sejumlah strategi peningkatan produksi.

Tidak hanya di dalam negeri, pengembangan juga melibatkan kerja sama global, salah satunya melalui United Nations Task Force on Seaweed (UNTFS). Bentuk kerja sama ini antara lain mengeksplorasi jenis rumput laut baru di luar Kappaphycus dan Gracilaria yang selama ini umum dibudidayakan di Indonesia.

“Dengan keanekaragaman hayati laut dan garis pantai yang luas, Indonesia punya posisi strategis untuk memperluas budidaya rumput laut jenis baru,” ujar Tebe.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa dengan ini Indonesia juga memiliki peluang untuk memimpin pembentukan Pusat Inovasi Rumput Laut Asia Tenggara di bawah koordinasi UNTFS. Pusat ini dirancang sebagai wadah pertukaran pengetahuan, proyek percontohan, dan pelatihan.

Terakhir, menurut Tebe, dengan adanya kolaborasi ini, Indonesia juga bisa ikut berperan dalam pengembangan standar global untuk budidaya rumput laut berkelanjutan, termasuk penerapan biosekuriti dan standar kualitas untuk ekspor.

Posted in Tak Berkategori

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *