KUBET – Menjaga Pintu Bumi dari Penyakit

Sejumlah tenaga kesehatan mengikuti upacara peringatan HUT Ke-76 Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) di Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Selasa (17/8/2021). HUT Ke-76 Kemerdekaan RI tahun ini bertemakan Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh.

Lihat Foto

Varian Covid-19 yang dominan menyebar di Thailand adalah XEC dan JN.1, di Singapura LF.7 dan NB.1.8 (turunan JN.1), di Hong Kong JN.1, dan di Malaysia adalah XEC, tak lain turunan JN.1(Tempo.co, 3 Juni 2025).

Kementerian Kesehatan lekas merespons alarm atau sirine peringatan tadi dengan menerbitkan Surat Edaran SR.03.01/C/1422/2025.

Isinya mengimbau seluruh dinas kesehatan daerah dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan kewaspadaan.

Walau tingkat keparahan varian baru itu lebih rendah, sebaiknya seluruh lini, dari pemerintah pusat, daerah hingga masyarakat selalu waspada.

 

Kasus Covid-19 di negeri kita, sangat terkendali. Pada minggu ke-20, kasusnya turun menjadi tiga. Sebelumnya di minggu atau pekan ke-19 tercatat 28 kasus. Positivity rate 0,59 persen.

Namun, berjaga-jaga selalu lebih baik ketimbang kecolongan dan teledor. Ini berlaku untuk Indonesia dan negara-negara di dunia.

Soal ini saya teringat Yuval Noah Harari. Buat saya sangat muskil untuk menolak, menepis atau membantah Yuval Noah Harari tatkala menulis “The Word After Coronavirus” di awal Pandemi Covid-19 (Financial Times, 19 Maret 2020).

Harari menyoroti pilihan antara menggunakan jurus “isolasi nasionalis atau solidaritas global” dalam apa yang disebutnya “perang kemanusian melawan virus corona.”

Menurut Harari, bangsa manusia harus berbagi informasi secara global, kerja sama, saling percaya, memiliki kepemimpinan efektif, serta mengubah kesepakatan masa normal secara drastis dan tak umum agar efektif menanggulangi pandemi.

Kita tahu di masa-masa awal pandemi Covid-19, situasinya “chaos” lantaran tak ada satu pun negara di muka bumi ini yang benar-benar siap menghadapi pandemi tak terduga itu.

Pada akhir 2019, homo sapiens kecolongan di salah satu pojok bumi: Wuhan, China. Saat itu globalisasi sungguh-sungguh telah bekerja: Menyebarkan virus corona ke lebih dari 200 negara.

Bukan globalisasi begini yang dibayangkan Joseph E. Stiglitz dalam “Making Globalization Work” (2006). Inilah efek mencekam dari pergerakan manusia yang difasilitasi oleh globalisme.

Untuk urusan merespons keadaan darurat global saat itu, tahun 2020, Harari benar dan tepat. Bayangkan jika ilmuwan dan negara-negara di dunia ini tidak “mengubah kesapakatan sains” menyangkut pengembangan vaksin Covid-19.

Pada kondisi normal, pengembangan vaksin yang aman dan efektif itu butuh waktu lama, hingga lima tahun. Namun, pandemi telah mengubahnya. Ilmuwan dan laboratorium berlomba, bahkan adu cepat, agar selekas mungkin menghasilkan vaksin Covid-19.

Posted in Tak Berkategori

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *