KUBET – Peneliti Soroti Dampak Naiknya Air Laut Terhadap Kehidupan Masyarakat Pesisir

Kendaraan truk tronton menerjang Pantura Sayung, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Jumat (23/5/20225).

Lihat Foto

BRIN), Laely Nurhidayah, mengatakan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya bersama timnya, wilayah pesisir utara dari Jakarta hingga Surabaya terdampak signifikan oleh perubahan iklim yang menyebabkan naiknya permukaan air laut.

Dampaknya, masyarakat pesisir mengalami berbagai kerugian yang bersifat langsung maupun jangka panjang.

Dalam acara diseminasi hasil penelitian bertajuk “Forced Labor And Climate Change Focus On Women And Children” pada Selasa (3/6/2025), Laely menyebutkan bahwa salah satu kerugian terbesar adalah hilangnya tempat tinggal akibat terendamnya rumah dan tanah warga.

“Masalah iklim ini sudah nyata terjadi di Pekalongan dan Demak, sehingga banyak masyarakat pesisir yang terpaksa melakukan migrasi,” ujar Laely.

Di Pekalongan, misalnya, warga Simonet di Desa Semut telah mengalami penurunan tanah sejak tahun 2020. Mereka pun harus pindah dan menempati hunian sementara di tanah milik desa (tanah bengkok) hingga tahun 2024.

Sementara di Demak, sejumlah wilayah pinggiran sudah tenggelam sejak 2005. Warga dari Rejosari dan Senik terdampak langsung, dan pada 2022, daerah Mondoliko di Desa Bedono juga mulai tenggelam. Saat ini, beberapa warga Rejosari direlokasi ke tepi sungai di Desa Gemulak.

Namun, lokasi relokasi tersebut masih menyimpan kerentanan. Menurut Laely, lahan di tepi sungai dan area irigasi yang dikelola Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) rawan banjir dan tidak memiliki kepastian status kepemilikan. Warga hanya diperbolehkan tinggal sementara.

Di tengah situasi tersebut, pemerintah daerah mencoba mengambil peran. Di Demak, misalnya, warga Mondoliko mendapat bantuan material senilai 50 juta rupiah per rumah tangga. Kepala Desa Bedono juga turut membantu pengadaan lahan dan memfasilitasi proses pembayaran yang lebih fleksibel.

“Tetapi masyarakat mengatakan bahwa itu belum cukup untuk membangun rumah di tempat yang baru,” ujar Laely.

Perlindungan Nihil

Meski migrasi karena dampak iklim sudah terjadi secara nyata, Laely menyoroti belum adanya perlindungan konkret dari pemerintah pusat terhadap masyarakat terdampak. Tidak ada skema resmi atau regulasi yang menjamin hak atas tempat tinggal pengganti bagi mereka yang terdampak naiknya permukaan air laut.

“Kelemahan regulasi memperlambat penanganan dan menyulitkan kelompok rentan, seperti orang tua, perempuan, dan anak-anak,” tegasnya.

Laely juga mengingatkan bahwa isu ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan bersifat global. Saat ini, kerangka hukum internasional yang membahas relokasi karena perubahan iklim masih tersebar di berbagai dokumen.

 

Salah satunya adalah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Kerangka Adaptasi Cancun 2010, yang mendorong pemahaman dan kerja sama dalam menghadapi perpindahan akibat iklim.

Beberapa negara di Asia Pasifik seperti Fiji dan Tuvalu telah menerapkan regulasi tersebut dalam hukum nasional mereka. Sayangnya, Indonesia belum memiliki aturan khusus mengenai relokasi akibat perubahan iklim.

Saat ini, perlindungan terhadap migrasi paksa di Indonesia hanya tersirat dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999. UU ini menyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang layak dan sehat. Pasal 9 ayat (2) menambahkan bahwa setiap orang berhak atas ketenangan, keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan fisik dan mental.

Posted in Tak Berkategori

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *