
pertambangan adalah sektor yang sangat seksi, terutama di Indonesia. Sejak era penjajahan, sektor ini adalah salah satu sektor yang diincar oleh penjajah dan investor global.
Bahkan, sektor pertambangan menjadi salah satu alasan fundamental di balik keputusan Jepang untuk melebarkan ambisi ekspansionisnya ke Asia Tenggara, setelah pemerintahan Franklin Delano Roosevelt ketika itu memberlakukan kebijakan embargo minyak terhadap Jepang sebagai sanksi atas tindakan negeri Sakura yang secara sengaja menjajah China.
Hingga hari ini, sektor pertambangan masih menjadi salah satu sektor terseksi di negeri ini yang menarik begitu banyak investor, baik domestik maupun global, tidak terkecuali investor pelat merah sekalipun.
Komoditas SDA yang digali tidak saja komoditas konvensional seperti minyak, gas, dan emas, tapi juga komoditas lain yang mulai populer seiring perkembangan waktu dan teknologi.
Sebut saja, misalnya nikel, yang dalam rentang waktu dua puluh tahun ke belakang sangat masif disedot dari isi perut ‘Ibu Pertiwi’, seiring masifnya penggunaan teknologi dengan aneka sumber energi alternatif.
Secara ekonomi, hari ini, dari sisi ekonomi, sektor pertambangan masih menjadi salah satu sektor yang memberikan kontribusi terbesar kepada pertumbuhan ekonomi nasional, baik melalui kontribusi agregat kepada Product Domestic Bruto (PDB) nasional, melalui penerimaan negara (pajak dan non pajak), melalui penyerapan tenaga kerja, melalui efek berganda (multiplier effect) dari aktifitas penambangan, ataupun melalui kontribusi devisa sebagai hasil dari aktifitas ekspor komoditas hasil tambang nasional.
Sektor pertambangan menjadi salah satu sektor dari lima sektor utama yang memberikan kontribusi terbesar kepada pertumbuhan ekonomi nasional atau PDB Indonesia.
Berdasarkan data PDB Indonesia tahun 2024 dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2025), struktur PDB Indonesia menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2024 didominasi oleh lima lapangan usaha, yakni Industri Pengolahan sebesar 18,98 persen; diikuti oleh Perdagangan Besar dan Eceran.
Kemudian Reparasi Mobil dan Sepeda Motor sebesar 13,07 persen; Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar 12,61 persen; Konstruksi sebesar 10,09 persen; serta Pertambangan dan Penggalian sebesar 9,15 persen.
Peranan kelima lapangan usaha tersebut dalam perekonomian Indonesia mencapai 63,90 persen.
Namun, gambaran tersebut hanyalah hasil dari tangkapan makro dan umum, dengan simplikasi data dan deskripsi kontributif sektor pertambangan di atas kertas.
Pada tataran praktik, banyak perusahaan tambang di daerah yang justru dilihat dalam lensa pesimistis, bahkan kacamata kemarahan, oleh pemerintah daerah maupun masyarakat daerah.
Pasalnya, jika dikaitkan dengan kepentingan daerah di mana perusahaan-perusahaan pertambangan itu beroperasi, sektor pertambangan dipandang sebagai domain, atau bahkan tepatnya monopoli pemerintahan pusat.
Sehingga pada ranah operasional, perusahaan tambang acapkali dianggap sebagai perpanjangan tangan “tidak langsung” atas kepentingan ekonomi politik pusat.
Anggapan tersebut bukan tanpa alasan. Karena nyatanya, perusahaan tambang dalam penampakan dan perilaku sehari-harinya dikaitkan dengan pemerintahan dan masyarakat daerah, memang cenderung “menjual-jual” nama kepentingan pusat di satu sisi dan beranggapan semua urusan telah selesai saat urusan dengan pemerintah pusat telah selesai di sisi lain.
Walhasil, mereka merasa sudah tidak perlu lagi berurusan dengan pemerintahan daerah dan masyarakat daerah.
Padahal, jika berkaca pada keharusan perusahaan tambang untuk melakukan prinsip-prinsip good mining practice, misalnya, konteks lokal harus menjadi salah satu acuan yang harus diprioritaskan oleh perusahaan.
Karena bagaimanapun, meski urusan perijinan dan “lobby-lobby” berlangsung di Jakarta, misalnya, tapi SDA yang disedot dari perut bumi adalah milik daerah dan eksternalitas dari aktifitas pertambangan akan ditimpakan kepada daerah, mulai dari kerusakan lingkungan, bencana, sampai pada imbas sosial ekonominya.
Dalam tataran praktis, penampakan ketidakramahan atau tepatnya kekurangsensitifan perusahaan tambang ini, baik yang berbasiskan PMDN ataupun PMA, terhadap kepentingan lokal, acapkali saya temui di daerah-daerah penelitian saya.