KUBET – Isu Emisi Karbon Tenggelam

Ilustrasi emisi karbon.

Lihat Foto

emisi karbon mulai surut.

Isu emisi karbon tenggelem oleh isu swasembada pangan dan makan bergizi gratis (MBG) yang terus menerus digencarkan pemerintah hingga saat ini.

Padahal, masih banyak pekerjaan rumah terkait emisi karbon peninggalan KLHK. Kementerian Lingkungan Hidup yang menjadi tulang punggung dan mempunyai otoritas penuh atas emisi karbon nampaknya lebih sibuk mengurus pengendalian dan penanganan sampah yang buruk oleh daerah.

Instrumen emisi karbon di Indonesia sudah cukup lengkap, diatur tiga regulasi untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mencapai target yang ditetapkan secara nasional dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).

Ketiga regulasi itu adalah UU No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Perpres No 98/2021 tentang penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam Pembangunan Nasional, serta Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No 21/2020 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).

Target NDC Indonesia dalam Konferensi Para Pihak/Conference of the Parties (COP) 21 di Paris Perancis (2015) yang diadakan oleh UNFCCC (United Nation Frame work Convention on Climate Change) adalah penurunan emisi GRK 2030, yaitu 29 persen CMI melalui upaya sendiri dan 41 persen CMI melalui bantuan internasional.

Dalam COP 27 di Sharm El-Sheikh, Mesir (2022), target emisi GRK Indonesia direvisi menjadi 31,89 persen dengan usaha sendiri dan 43,2 persen dengan bantuan asing.

Peta jalan (road map) juga telah disusun KLHK waktu itu bersama kementerian dan lembaga terkait. Peta jalan yang dimaksud antara lain pajak karbon, pasar karbon, NDC dan perdagangan karbon.

Peta jalan di antaranya penurunan emisi GRK di sektor energi, di sektor kehutanan, di sektor pertanian, di sektor limbah, di sektor proses industri dan penggunaan produk (IPPU).

Aksi dan implementasi pasar karbon (melalui bursa karbon) dan perdagangan karbon telah dilaksanakan dengan membuka bursa karbon yang dicanangkan Presiden RI ke 7 Joko Widodo.

Namun, hasilnya belum menggembirakan. Sejak diluncurkan, perdagangan karbon domestik di Indonesia masih menghadapi tantangan dari segi likuiditas pasar.

Sepanjang 2024, total nilai karbon yang diperdagangkan mencapai Rp 19,72 miliar, lebih rendah dibandingkan 2023 mencapai Rp 30,90 miliar.

Volume transaksi karbon pada 2024, juga mengalami penurunan menjadi 412.186 ton CO2 ekuivalen, dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 494.254 ton CO2 ekuivalen.

 

Sayangnya, konsep menjual karbon dari perdagangan karbon melalui bursa karbon Indonesia, meskipun menjanjikan dan nilainya sangat tinggi, nampaknya belum menggembirakan apabila melihat data bursa karbon yang dicanangkan Jokowi pada September 2023 lalu.

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mengakui bahwa perdagangan karbon di Indonesia masih sepi peminat, terutama di pasar domestik.

Posted in Tak Berkategori

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *